Klik Judul Artikel untuk Membaca )
belum ada laman yang di tampilkan
Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional
Oleh Azmi Siradjudin AR
“Asal – Muasal”
Istilah masyarakat adat mulai mendunia, setelah pada tahun 1950-an ILO, sebuah badan dunia di PBB mempopulerkan isu “indigenous peoples”. Setelah dihembuskan oleh ILO sebagai isu global di lembaga PBB, World Bank (Bank Dunia) juga mengadopsi isu tersebut untuk proyek pedanaan pembangunan di sejumlah negara, melalui kebijakan OMP (1982) dan OD (1991), terutama di negara-negara ketiga, seperti di Amerika Latin, Afrika, dan Asia Pasifik. Mencuatnya isu masyarakat adat berawal dari berbagai gerakan protes masyarakat asli “native peoples” di Amerika Utara yang meminta keadilan pembangunan, setelah kehadiran sejumlah perusahaan transnasional di bidang pertambangan beroperasi di wilayah kelola mereka, dan pengembangan sejumlah wilayah konservasi oleh pemerintah AS dan Kanada.
Komunitas Inuit di Alaska (negara bagian AS di dekat kutub utara) adalah korban dari ketidak adilan pembangunan industri pertambangan di Amerika Serikat. Di Kanada, komunitas Inuit yang masuk dalam wilayah negara tersebut juga memprotes kebijakan Kanada yang memaksa mereka harus meninggalkan wilayah kelola menuju desa-desa di pinggiran kota, karena perusahaan Migas dan Batubara akan mengolah wilayah tersebut. Di sebelah tengah AS, pembangunan Taman Nasional Missisipi juga merampas hak kelola komunitas pribumi Indian lainnya, seperti Mohak. Sedangkan pembangunan Taman Nasional Rocky Mountain di sebalah barat juga mengancam kehidupan Indian Apache. Berbagai protes dari “native peoples” di dataran Amerika Utara pada tahun 1950-an, memancing reaksi ILO sebagai lembaga PBB yang bergerak dalam isu perlindungan tenaga kerja. Karena itu, ILO kemudian melakukan berbagai riset lapangan, dan pada tahun 1957, ILO mengeluarkanKonvensi No.107 dan rekomendasi No.104 tentang “Perlindungan dan Integrasi Penduduk Asli dan Masyarakat Suku”. Pada tahun 1989, Konvensi tersebut diperbaharui oleh ILO dengan Konvensi No.169.
Isu-isu ketidak-adilan yang dirasakan oleh berbagai komunitas “indie” (pribumi) ataupun “native peoples” (masyarakat asli) berpengaruh bagi ILO untuk memunculkan isu generatifnya, “indigenous peoples”. Oleh gerakan Ornop (organisasi non-pemerintah) di Indonesia, kemudian diadopsi dan diterjemahkan menjadi kosa kata “masyarakat adat”, terutama pada pertemuan bertajuk “Lokakarya Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Dalam Kawasan Hutan”, yang berlangsung pada tanggal 25 – 29 Mei 1993, di Toraja, Sulawesi Selatan. Isu “masyarakat adat” semakin memperoleh tempatnya dalam gerakan masyarakat sipil melalui pendeklarasian pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999 di Jakarta.
“Realitas Sosial – Budaya”
Dari realitas sosial-budaya yang ada di Indonesia, keberadaan entitas masyarakat adat ternyata cukup beragam, serta memperlihatkan dinamika perkembangan yang bervariasi. Secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 tipologi; Pertama, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih kukuh berpegang pada prinsip “pertapa bumi” dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Bahkan meraka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar, dan mereka memilih menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya dengan kearifan tradisonal mereka. Entitas kelompok pertama ini, bisa dijumpai seperti komunitas To Kajang (Kajang Dalam) di Bulukumba, dan Kanekes di Banten; Kedua, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tapi masih membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan “komersil” dengan pihak luar, kelompok seperti ini bisa dijumpai, umpamanya pada komunitas Kasepuhan Banten Kidul dan Suku Naga, kedua-duanya berada di Jawa Barat; Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai, gunung, laut, dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang unik, tetapi tidak mengembangka adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan masyarakat pada kelompok pertama dan kedua tadi. Komunitas masyarakat adat yang tergolong dalam tipologi ini, antara lain Dayak Penan di Kalimantan, Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Dani dan Deponsoro di Papua Barat, Krui di Lampung, dan Haruku di Maluku; Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumberdaya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang ratusan tahun. Masuk dalam kategori ini adalah Melayu Deli di Sumatra Utara, dan Betawi di Jabotabek.
Realitas seperti pengelompokkan tipologi masyarakat adat tersebut, sampai sekarang juga masih banyak dijumpai di berbagai wilayah di Sulawesi Tengah. Misalnya, Taa Wana, Daa, Kahumamaun, Mansama, Laudje, Tajio, Bolano, Bajo, Kulawi,Bada, Rampi, dan banyak lagi. Dari daftar numerasi di Depdagri, diketahui bahwa Sulawesi Tengah termasuk urutan ketiga setelah propinsi Papua dan NTT dalam hal jumlah kelompok etno-linguistik. Dari studi etnolog yang dilakukan Barbara Grimes, setidaknya lebih dari 20 kelompok etno-linguistik yang berbeda terdapat di Sulawesi Tengah. Tetapi, tidak semua kelompok etno-linguistik tersebut dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat. Sebab, pendefinisian masyarakat adat harus merujuk kedalam 4 tipologi yang telah disebutkan sebelumnya.
Berangkat dari realitas tersebut tadi, sebenarnya, tidak ada alasan bagi pemerintah kita untuk tidak mengakui eksistensi masyarakat adat, secara politik maupun hukum. Namun sayangnya, penantian untuk adanya pengakuan secara politik dan hukum secara gencar baru terasa pasca bergulirnya reformasi. Termasuk dalam perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dalam bentuk amandemen yang ketiga dan keempat. Bahkan jauh sebelumnya, sebanarnya telah ada UU Pokok Agraria tahun 1960 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno. Tapi, sayangnya lagi, UU Pokok Agraria tidak banyak bermakna bagi keberadaan masyarakat adat di Indonesia.
“Pengakuan Hukum”
Ada beberapa instrumen hukum nasional yang mengakui keberadaan masyarakat adat di Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen), pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat, termaktub dalam pasal 18B ayat (2), yaitu; “Negara mengakui dan menghormati kestuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Pasal ini, memebrikan posisi konstitusional kepada masyarakat adat dalam hubungannya dengan negara, serta menjadi landasan konstitusional bagi penyelenggara negara, bagimana seharusnya komunitas diperlakukan. Dengan demikian pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang ; (a) kewajiban konstitusional negara untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat, serta (b) hak konstitusional masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya. Apa yang termaktub dalam pasal 18B ayat (2) tersebut, sekaligus merupakan mandat konstitusi yang harus ditaati oleh penyelenggara negara, untuk mengatur pengakuan dan penghormatan atas keberadaan maasyarakat adat dalam suatu bentuk undang-undang. Pasal lain yang berkaitan dengan masyarakat adat, adalah pasal 281 ayat (3) yang menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Sebelum amandemen terhadap UU Dasar 1945, TAP MPR No.XVII/1998 tentang Hak Azasi Manusia (HAM) terlebih dahulu memuat ketentuan tentang pengakuan atas hak masyarakat adat. Dalam pasal 41 Piagam HAM yang menjadi bahagian talk terpisahkan dari TAP MPR itu, ditegaskan ; “Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. Dengan adanya pasal ini, maka hak-hak dari amsyarakat adat yang ada, ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati, dan salah satu hak itu menurut pasal ini adalah hak atas tanah ulayat.
Bahkan dalam TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan PSDA, hak-hak masyarakat adat tersebut tidak hanya sebatas hak atas tanah ulayat, tetapi juga menyangkut sumberdaya agraria/sumberdaya alam, termasuk keragaman budaya dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Hal itu termaktub dalam pasal 4, bahwa ; “Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip:......j) mengakui, menghormati, dan melindungi hak amsyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam”.
Secara umum, TAP MPR No.IX/2001 itu, lahir karena situasi empirik pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, eksploitatif, memiskinakan rakyat (termasuk masyarakat adat) dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan, serta kerusakan lingkungan hidup yang massif. Karena itu, TAP MPR ini, mengamanahkan agar dilakukannya pembaharuan agraria oleh pemerintah dalam hal PSDA berdasarkan prinsip-prinsip penghargaan atas HAM, demokratisasi, transparansi, dan partisipasi rakyat, keadilan penguasaan dan kepemilikan, serta pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakat adat
Pada tingkatan Undang-Undang, UUPA No. 5/1960 adalah produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa”.
Pasal 5 ini merupakan rumusan atas kesadaran dan kenyatan bahwa sebagian besar rakyat tunduk pada hukum adat, sehingga kesadaran hukum yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kesadara hukum berdasarkan adat. Hanya saja Memang semangat UU ini, dikemudian waktu banyak dibelakangi, karena pergeseran politik ekonomi dan hukum agraria. Kendati demikian, UU ini hingga sekarang masih menjadi hukum yang positif yang mengatur mengenai agraria. Karenanya masih menjadi alat legal dalam memperkuat hak-hak komunitas adat. Namun seiring dengan arus reformasi, kesadaran terhadap pengakuan, peng-hormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat menjadi salah satu isu politik yang mengemuka. Sejumlah Undang-Undang telah diproduk menyertai UUPA, seperti yang akan diuraikan dibawah ini.
Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM ini, boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998 yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi Manusia. Pasal 6 UU No.39/1999, menyebutkan:
(1) Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.
(2) Indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman.
Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Lebih jauh, pasal 6 UU HAM ini sesungguhnya menegaskan pula keharusan bagi hukum, masyarakat dan pemerintah untuk menghargai kemajemukan identitas dan nilai-nilai budaya yang berlaku pada komunitas adat setempat. Pengingkaran terhadap kemajemukan tersebut, misalnya melakukan penyeragaman (uniformitas) nilai terhadap mereka merupakan suatu pelanggaran HAM, apalagi jika pengingkaran tersebut disertai tindakan-tindakan pelecehan, kekerasan atau paksaan. Sudah tentu tindakan demikian bias dikategorikan kejahatan serius dan berat, sehingga memung-kinkan untuk diselesaikan di pengadilan HAM.
Undang-Undang lain yang juga mengatur hak-hak masyarakat hukum adat adalah UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. UU ini bahkan mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat, seperti dinyatakan dalam pasal 1 angka 6: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Sayangnya, pasal ini masih belum menunjukkan pengakuan hak komunitas adat atas sumber daya alam dalam wilayahnya, karena ternyata hutan adat masih diklaim sebagai hutan negara, seperti dipertegas lagi dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat”; dan bahwa “Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 angka 4).
Untungnya, pasal 4 ayat (3) memberikan rambu-rambu kepada penyelenggara negara terutama bagi otoritas kehutanan agar tetap memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat. Pasal ini menyatakan: “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Penjelasan pasal 5 ayat (1) juga menguraikan:
“Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya… Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.”
Dengan demikian, kemungkinan pengakuan hak masyarakat hukum adat untuk melakukan pengelolaan hutan adatnya masih sangat terniscayakan. Hal ini dipertegas dalam pasal 67 ayat (1) bahwa :
“Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya”.
Lantas, bagaimana membuktikan masyarakat hukum adat tersebut pada kenyataannya masih ada ? Dan melalui apa pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tersebut diupayakan sehingga hak-haknya dapat ditegakkan ? Untuk pertanyaan yang terakhir, pasal 67 ayat (2) menyebutkan: “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Sedangkan untuk pertanyaan pertama, penjelasan pasal 67 ayat (1), memberikan gambaran sebagai berikut:
“Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”.
Berbeda dengan UU sebelumnya yang menegaskan hak-hak masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam sesuai identitas dan kekhasan budaya, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih tertuju pada penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Pasal 203 ayat (3), umpamanya menyebutkan:
“Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Pasal ini sekaligus memberi makna bahwa masyarakat hukum adat sesuai perkembangannya dapat mengembangkan bentuk persekutuannya menjadi pemerin-tahan setingkat desa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 202 ayat (1): “Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku”.
--------------------
*Artikel ini, dikembangkan dari Konsep Paper “Usulan Kebijakan Pengukuhan Hak Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di Propinsi Sulawesi Tengah” – Yayasan Merah Putih (YMP).
**Kedua penulis, adalah staf pada Yayasan Merah Putih (YMP)
Sumber:ymp.or.id
Klik Judul Artikel untuk Membaca )
belum ada laman yang di tampilkan
PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT ADAT:
Antara Konsep dan Realitas
Oleh: Bestari Raden2 dan Abdon Nababan3 2003
Masyarakat Adat: Korban Pembangunan Kehutanan
HUTAN DAN MASYARAKAT
PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT ADAT:
Antara Konsep dan Realitas
Oleh: Bestari Raden2 dan Abdon Nababan3 2003
Masyarakat Adat: Korban Pembangunan Kehutanan
Masyarakat adat, yang diperkirakan paling sedikit 30 juta jiwa di antaranya berada di dalam di sekitar hutan, adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini yang menjadi korban politik pembangunan Rejim Orde Baru. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai “masyarakat terasing”, “peladang berpindah”, “masyarakat rentan”, “masyarakat primitif’ dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural.
Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budaya dan agamanya. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya, politik dan agama. Hanya saja bangunan “negara-bangsa” yang majemuk sebagaimana digagas oleh Para Pendiri Bangsa ini telah dihianati begitu saja oleh para penerusnya, yaitu dengan merampas secara sistematis hak-hak masyarakat adat yang merupakan struktur dasar “negara-bangsa” yang majemuk. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan yang paling utama adalah hak politik masyarakat adat. Perangkat-perangkat kebijakan dan hukum diproduksi untuk memaksakan uniformitas dalam semua bidang kehidupan. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sektor kehutanan, misalnya, ditemukan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak menetapkan alokasi dan pengelolaan hutan yang sebagian besar berada di dalam wilayah-wilayah adat, di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Dengan mengeluarkan dan menerapkan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, yang kemudian diganti dengan UU No. 41 Tahun 199 tentang Kehutanan, secara sepihak telah menempatkan HUTAN ADAT sebagai HUTAN NEGARA. Dalam hal ini HUKUM telah DISALAH-GUNAKAN menjadi hanya instrumen untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya.
Berhembusnya angin “reformasi” yang berhasil menempatkan KH Abdurrahman Wahid, dan kemudian digantikan oleh Megawati Sukarnoputri, sebagai Presiden RI, juga tidak merubah kebijakan dan hukum yang mengatur alokasi dan pengelolaan hutan. Energi dan kekuasaan yang dipegang oleh para pemimpin lembaga penyelenggara negara yang mestinya digunakan untuk mengganti total peraturan per-UU-an peninggalan Orde Baru, ternyata tidak dilakukan. Akibat politik sumberdaya alam yang sentralistik, bertumpu pada pemerintah, represif dan sangat tidak adil ini, telah menimbulkan maraknya konflik atas sumberdaya hutan antara masyarakat adat dengan pengusaha yang didukung pejabat pemerintah. Bahkan sebagian di antaranya berdimensi kekerasan karena pemerintah dan pengusaha sering melibatkan aparat pertahanan dan keamanan untuk meredam konflik-konflik yang muncul. Dari berbagai konflik vertikal seperti ini tercatat banyak pelanggaran hak azasi manusia dialami oleh penggiat dan pejuang penegakan hak-hak masyarakat adat. Setiap aksi protes dari yang paling damai sekali pun seperti mengirim surat protes ke pemerintah sampai aksi blokade jalan, pengambil-alihan “base camp” sampai penyanderaan alat-alat berat perusahaan yang mengeksploitasi dan merusak ekosistem hutan yang secara turun-temurun menghidupi mereka, selalu berujung pada tuduhan anti-pembangunan dan kriminalisasi.
Kebijakan ekonomi, khususnya dalam alokasi dan pengelolaan kawasan hutan yang hanya memihak kepentingan modal ini, nyata-nyata telah berdampak sangat luas terhadap kerusakan alam dan kehancuran ekologis. Korban pertama dan yang utama dari kehancuran ini adalah masyarakat adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Kebijakan kehutanan yang ekstraktif seperti saat ini tidak memberi kesempatan bagi kearifan adat untuk mengelola hutan secara berkelanjutan, sebagaimana yang telah dipraktekkan selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola alam sudah tidak mendapat tempat yang layak dalam usaha produksi, atau bahkan dalam kurikulum pendidikan formal kehutanan. Sampai saat ini, sangat sedikit sekali dari para ekonom dan praktisi pembangunan kehutanan yang mau mengakui bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia telah menjadi korban pembangunan. Kelompok ini masih sulit menerima bahwa kemiskinan dan ketertindasan masyarakat adat yang ada saat ini justru bersumber dari proyek-proyek pembangunan seperti HPH dan HTI, bukan karena mereka malas atau tidak rasional.
Otonomi Daerah: Pemberlanjutan Pengrusakan Hutan
Di tengah pemberlanjutan ‘ideologi’ pembangunan ekspolitatif dari rejim Orde Baru Soeharto-Habibie ke KH. Abdurahman Wahid dan saat ini Megawati Sukarnoputri, reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui otonomi daerah telah menjadi tema sentral diskusi hampir di seluruh lapisan masyarakat (kecuali mungkin di pusat-pusat kekuasaan di Jakarta karena terlalu sibuk dengan urusan merebut atau mempertahankan kekuasaan). Dalam otonomi daerah ini, yang secara formal ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, ada kehendak dari para pembuatnya untuk memperbaharui hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah melalui penyerahan kewenangan pusat ke daerah atau desentralisasi, antara eksekutif (PEMDA) dengan legislatif (DPRD) melalui “kemitraan sejajar” di antara keduanya, dan terakhir mendekatkan secara politik dan geografis antara penentu kebijakan (yang kewenangannya diserahkan ke DPRD dan PEMDA Kabupaten) dengan rakyat sehingga diharapkan kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat banyak.
Dalam konteks memberi jalan bagi kedaulatan masyarakat adat, hal-hal yang dikehendaki tersebut perlu dikaji dan dipertanyakan secara kritis mengingat bahwa UU 22/1999 dan UU 25/1999 ini hanya mengatur sistem pemerintahan (government system), bukan system pengurusan (governance system). Ini berarti bahwa kedua UU ini baru mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah yang selama Orde Baru justru merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi masyarakat adat, yaitu tidak adanya kejelasan dan ketegasan batas sampai di mana pemerintah boleh (punya hak) mengatur dan mengintervensi kedaulatan masyarakat adat. Yang muncul sebagai akibat dari ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan ini adalah tumbuh-suburnya perilaku politik pengurasan hutan di kalangan elit politik, khususnya para bupati yang mendapatkan penambahan wewenang yang cukup besar. Para bupati berlomba-lomba mengeluarkan PERDA untuk menarik pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya, termasuk dengan pemberian ijin HPHH skala kecil, IPK dan sebagainya tanpa perhitungan ketersediaan sumberdaya hutan yang matang.
Hal menarik dan penting dicatat dari perjalanan otonomi daerah selama setahun terakhir ini adalah bahwa bertambahnya kekuasaan/wewenang di tangan para Bupati dan DPRD bukan berarti dengan sendirinya mengurangi kekuasaan/wewenang pemerintah pusat di daerah atas sumberdaya alam. Pada kenyataannya peraturan per-UU-an sektoral masih tetap kokoh dan berjalan seperti biasanya. Misalnya pencabutan ijin HPH, HPHTI, perkebunan besar, kuasa pertambangan masih tetap berada di tangan departemen sektoral. Dari sini bisa dipastikan otonomi daerah telah menyebabkan penambahan jumlah dan jenis kegiatan eksplitasi sumberdaya alam, belum lagi terhitung ekploitasi haram (tidak pakai ijin dari pemerintah pusat atau daerah) yang sama sekali di luar kapasitas pemerintah untuk mengontrol. Kalau kecenderungan ini tidak segera dihentikan (atau paling tidak dikendalikan) maka otonomi daerah tidak pernah jadi solusi, bahkan akan meningkatkan laju pengrusakan diri masyarakat adat itu sendiri beserta habitatnya.
HUTAN ADAT: Jantung Kehidupan Masyarakat Adat
Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Penghancuran pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan adat secara sistematis lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa tidak sepenuhnya berhasil. Banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Sejati di 4 propinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Irian Jaya dan Nusan Tenggara Timur) menunjukkan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat, yaitu antara lain: 1) masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya; 2) adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal tenure/”property” rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan; 3) adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; 4) ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar; 5) ada mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen” sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat (Nababan, 1995).
Sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat adat, yang belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatera Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman Kolonial Belanda. Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH. Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian.
Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran telah memporak-porandakan dan merusak hutan adat yang selama ratusan tahun menjadi jantung kehidupan sebagian besar masyarakat adat di nusantara. Kawasan-kawasan hutan yang telah ditebang oleh HPH, dengan menggunakan fasilitas ‘logging road’ dan ’skidding road’, berbagai kegiatan eksploitasi dan konversi hutan yang semakin memperparah kerusakan hutan akan menyusul, seperti: operasi IPK, penebangan haram, perladangan berpindah, perkebunan skala besar dan sebainya. Pemetaan hutan yang dilakukan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) dinyatakan bahwa laju deforestasi selama periode 1986 – 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan hutan paling parah terjadi di Sumatera karena harus kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha) hutan. Forest Watch Indonesia (2001: draft “State of the Forest Report-Indonesia, sedang dalam proses proses review) menyatakan kalau kecenderungan ini terus berlangsung maka hutan dataran rendah bukan rawa di Sumatera akan punah sebelum tahun 2005, dan Kalimantan diperkirakan mengalami hal yang sama tahun 2010.
Sudah banyak sekali dana dan bantuan teknis dicurahkan oleh masyarakat internasional dan pemerintah dari negara-negara industri untuk menghentikan pengrusakan massif dan ancaman kepunahan hutan tropis ini, tetapi boleh dikatakan hampir semuanya gagal. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meyakini bahwa solusi terhadap semua persoalan kehutanan di Indonesia hanyalah kearifan adat. Bagaimana pun, kearifan adat yang berbasis komunitas ini merupakan potensi sosial-budaya yang sangat besar untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan sebagai landasan baru menuju perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini terpusat di tangan pemerintah dan telah terbukti menimbulkan pengrusakan hutan dan memarjinalisasi ekonomi masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara beserta habitatnya. Tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa masa depan keberlanjutan kehidupan bangsa Indonesia berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam.
Masyarakat adat sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk. Dengan pranata sosial yang bersahabat dengan alam, masyarakat adat memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (community-based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli komersial. Dengan pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat mampu mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumberdaya hutan yang ada di wilayah adatnya (community logging/portable sawmill, community forestry, credit union, dsb.) untuk mengatur dan mengendalikan “illegal logging” yang dimodali oleh cukong-cukong kayu, mengurangi “clear cutting” legal dengan IPK untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan resmi yang merusak dan tidak berkeadilan seperti IHPHH. Ada beberapa alasan yang tentang betapa pentingnya peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan di masa depan, yaitu bahwa:
Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan mendapatkan insentif yang paling bernilai untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut KEBERLANJUTAN KEHIDUPAN MEREKA.
Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana MEMELIHARA dan MEMANFAATKAN sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka.
Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk DITEGAKKAN.
Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan ekosistem hutannya.
Sebagian dari masyarakat adat sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas di antara komunitas-komunitas masyarakat adat, dan juga mengorganisasikan dukungan politis dan teknis dari pihak-pihak luar.
Masyarakat adat dilindungi UUD 1945 dan diatur dalam beberapa instrumen internasional4 yang mengharuskan negara mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak tradisional (hak-hak asal usul, menurut penjelasan Pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen).
MENUJU PERUBAHAN MENDASAR: Solusi dari AMAN
Kekecewaan, kemarahan dan keputus-asaan masyarakat adat yang terus-menerus menjadi korban pembangunan, akhirnya menemukan “ruang hidup baru” dengan menggariskan sikap dasar masyarakat adat yang dirumuskan dan diputuskan oleh seluruh peserta Kongres Pertama Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) tahun 1999 yang menyatakan: “KAMI TIDAK AKAN MENGAKUI NEGARA, KALAU NEGARA TIDAK MENGAKUI KAMI”. Sikap dasar inilah yang melandasi cita-cita bersama komunitas-komunitas masyarakat adat yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) “……. atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenanggungan di antara sesama masyarakat adat se-nusantara sehingga wajib untuk saling bahu-membahu demi terwujudnya kehidupan masyarakat adat yang layak dan berdaulat. Salah satu di antara cita-cita ini adalah tegaknya kedaulatan masyarakat adat untuk mengontrol, memelihara dan memanfaat hutan adatnya. Dalam kaitan ini maka AMAN mendesak agar:
Pemerintah dan DPR segera melakukan perubahan terhadap UU No. 41 tentang Kehutanan yang nyata-nyata melanggar UUD 1945 dan amandemennya. UU Kehutanan harus mematuhi dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi yang jelas-jelas mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Dalam UU yang baru nanti, posisi dan peran masyarakat adat harus ditempatkan sebagai pelaku utama pengelolaan hutan, baik untuk menjaga dan memelihara fungsi lindung dan konservasi hutan, memanfaatkan hutan untuk fungsi produksi dan juga melakukan rehabilitasi terhadap kawasan-kawasan yang sudah dirusak selama ini, maupun untuk mengamankan hutan dari perngrusakan.
Pemerintah segera menghentikan operasi perusahaan-perusahaan kehutanan yang memiliki persengketaan dengan masyarakat adat dan segera memfasilitasi perundingan ulang atas penggunaan hutan dan lahan hutan yang berada di dalam wilayah-wilayah adat (berdasarkan hak asal-usul/hak tradisional). Kalau tidak tercapai kesepakatan baru dalam perundingan ini, maka pemerintah harus mencabut seluruh ijin HPH dan HTI yang merugikan masyarakat adat.
Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam pemberian ijin dan hak pengusahaan hutan. Berbagai rencana pemberian ijin proyek dan eksploitasi hutan di dalam wilayah adat harus didasarkan atas perundingan bersama masyarakat adat yang menguasainya dan dipertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat adat.
Pemerintah dan DPR harus segera memperbaiki kebijakan tentang otonomi daerah agar memprioritaskan terjadinya devolusi, yaitu mendorong terjadinya pergeseran kekuasaan dan wewenang yang lebih besar ke tingkat komunitas adat (otonomi asli komunitas masyarakat adat)
Departemen Kehutanan harus segera menerapkan keterbukaan (transparansi) atas seluruh data dan informasi kehutanan. Data dan informasi yang transparan akan mendorong masyarakat untuk memantau dan melaporkan kegiatan-kegiatan eksploitasi hutan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan.
Footnotes:
Makalah untuk disajikan dalam Kongres Kehutanan Indonesia III, Senayan-Jakarta, 25-28 Oktober 2001.
Koordinator Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Sekretaris Pelaksana Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Pasal 18B ayat (2) (Amandemen Kedua) UUD 1945 pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”. Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3) semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” merupakan hak azasi manusia yang harus dilindungi oleh Negara. Dengan penegasan pasal ini menjadi sangat jelas bahwa apabila satu komunitas masyarakat adat menyatakan dirinya masih hidup (self-identification and self-claiming) maka Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melindunginya. Di samping dilindungi konstitusi negara, hak-hak masyarakat adat dan upaya-upaya penegakannya juga diatur dalam beberapa instrumen internasional. Yang pertama adalah Konvensi ILO (International Labor Organisation) Nomor 169 tahun 1989 mengenai Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi Asli di Negera-Negara Merdeka.
Konvensi ini sangat penting bagi kelompok-kelompok masyarakat adat di Indonesia untuk mendukung tindakan perlawanan terhadap ketidak-adilan dalam Negara Republik Indonesia yang merdeka. Konvensi ini dengan tegas memberi perlindungan terhadap hak-hak sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat adat. Hanya saja konvensi ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sehingga belum menjadi hukum yang sah dan harus ditegakkan (mengikat secara resmi). Instrumen kedua adalah Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) (1992) yang sudah diratifikasi (disahkan) oleh Pemerintah Indonesia menjadi UU No. 5 Tahun 1994, khususnya pasal 8 (j) yang menekankan pada perlindungan terhadap kearifan adat dalam pelestarian sumber daya dan keaneka-ragaman hayati dan hak kepemilikan intelektual masyarakat adat. Masih banyak lagi instrumen internasional (walaupun tidak secara khusus untuk masyarakat adat) yang bisa memberi “ruang hidup” bagi masyarakat adat, misalnya Perjanjian Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1966), dan sebagainya. Yang paling penting dari semua itu bahwa saat ini PBB sedang merumuskan (masih draft) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (Declaration on The Rights of Indigenous Peoples). AMAN sebagai organisasi masyarakat adat di Indonesia terus berjuang agar deklarasi ini segera disepakati dan diputuskan oleh Sidang Umum PBB sebagai salah satu instrumen hukum dalam pergaulan antar negara di tingkat internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih atas komentarnya