Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional Klik di sini. Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional.

Cari Blog Ini

CELOTEH



Klik JUDUL Untuk membaca )



Oleh: AZMI SIRADJUDDIN 


“YA” atau “TIDAK”

ADA sebuah mobil, terpampang slogan “Bolywood Yes, Hollywood No”. Saya penasaran dengan slogan itu. Saya kemudian berhenti, dan menghampiri pemilik mobil yang sedang memarkir mobilnya di samping pedagang es kelapa muda. Sejurus kemudian, saya bertanya padanya soal makna slogan di mobilnya.”Saya lebih senang produk asal India dibandingkan produk asal Amerika Serikat, termasuk saya lebih senang nonton film India daripada film Amerika,” jawabnya.
Itu jawaban tegas darinya terkait makna slogan yang saya tanyakan itu. Saya lantas bertanya lagi, “mengapa”. Dia menjawab, “karena asal usul saya dari India, saya bangga dengan semua produk India”. Saya memperhatikan lebih dekat, ternyata perawakannya memang bertampang seperti aktor-aktor film Hindustan yang sering muncul di layar televisi. Katanya, dia lahir di Kota Palu, dan pernah sekali mengunjungi Taj Mahal yang indah di negeri leluhurnya tersebut. “Kenapa anda tidak bangga pada produk Indonesia,” tanyaku lagi. Dia menjawab, “Bagaimana saya mau bangga pada produk negeri ini kalau pemerintahnya sendiri lebih senang dengan impor,” tegasnya. Sesaat saya tertunduk dan tertegun dengan jawaban itu. Saya pun teringat dengan berbagai data dan fakta yang masih ada dalam ingatan ini.

Sejak SBY menjadi Presiden RI pada tahun 2004 hingga kini, tak ada kemajuan bermakna di negeri ini. Rezim SBY boleh saja berbohong dengan statistik palsu yang didukung oleh World Bank, bahwa sejak tahun 2011 hingga awal 2012, pertumbuhan ekonomi makro rata-rata 6 persen (BPS, 2011). Tapi, kasus seorang nenek di Pulau Jawa yang rela mengambil dua biji kakao milik tetangganya hanya untuk membeli satu liter beras, menggugat nurani kita.

Ternyata, pertumbuhan rata-rata ekonomi yang dibanggakan rezim SBY, tidak berbanding lurus dengan perbaikan kesejahteraan warga negara. Termasuk, bagi 30 juta rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan hingga kini (BPS, 2011).

Apa yang mau dibanggakan dengan produk negeri ini. Lihatlah, hingga Februari 2012, harga pangan melambung tinggi di pasaran, padahal kita negeri agraris. Harga pangan yang melambung hingga 1 persen setiap jenisnya, menjadi penyumbang inflasi terbesar dari semua komoditas kebutuhan pokok (KOMPAS, 2 Februari 2012). Ujung-ujungnya, rezim SBY akan mengimpor beras lagi dari luar negeri.

Apa yang mau dibanggakan dengan produk negeri ini, jika hingga Februari 2012, sekitar 50 juta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), terlantar karena tidak mampu menyerap kredit perbankan. Padahal, kredit UMKM yang disediakan setiap tahunnya dalam APBN berjumlah trilyunan rupiah. Karena, kebijakan pemerintah yang lebih meringankan bunga pinjaman kepada korporasi, antara 10-12 persen per tahun. Tapi, untuk usaha UMKM, pemerintah malah menjerat bunga pinjaman antara 15-20 persen per tahun (KOMPAS, 2 Februari 2012). Sebuah ketidakadilan. Wajar pula, jika banyak sektor UMKM yang gulung tikar.

Apa yang mau dibanggakan dari produk negeri ini, jika sejak Januari hingga Desember 2011, nilai ekspor kita menurun terus hingga 16,95 miliar dollar AS. Wajar saja, sebab pemerintah kita lebih suka mengimpor segala hal, termasuk garam yang sum-bernya berlimpah di Indonesia. Sebab, pemerin-tahan SBY lebih senang dengan produk impor, daripada produk negeri sendiri. Ketika saya tanya kepada pemilik mobil tadi, “Percayakah Anda pada pemerintahan sekarang?”. Jawabnya, “Tidak”.



Klik JUDUL Untuk membaca )
Masa Depan Kita



“Kenapa media cuma meliput krisis di Mesir, padahal kita di Indonesia juga sedang krisis,” ujar penumpang di samping saya, saat penumpang bis angkutan antar kota yang membawa saya dari Luwuk ke Palu, sedang berehat pada petang hari, di sebuah rumah makan di Desa Sabo. Karena saya sedang lelah, mungkin lelah dengan segala gerutu dan keluh-kesah rakyat yang saban hari terdengar di kuping, saya pun memilih tidak menjawab. 

Tapi, saya terus tergoda, untuk berpaling sejenak ke arah layar kaca, Mesir Negara dengan sumber daya (wilayah, alam, dan manusia, plus modal) yang besar di Timur Tengah, kini terus bergolak. Sejak 25 Januari 2011– meminta Presidennya Husni Mubarak mundur! Rakyat Mesir terinspirasi oleh revolusi melati (Yasmin Revolution) yang pecah pasca Muhamed Bouazizi, pedagang kaki lima yang terzalimi oleh rezim diktator dan korup Zine-el Abidin Ben Ali, setelah membakar diri pada tanggal 17 Desember 2010 di depan kiosnya. 

Saya teringat sebulan silam, beberapa tokoh lintas agama kita mendeklarasikan “gerakan anti kebohongan,” sebuah gerakan moral menyentil pemerintah Indonesia yang kerap berbohong dengan angka-angka. Seperti judul salah satu tulisan di media yang pernah sayabaca, berjudul “How to Lie With Statistic,” Atau bagaimana berbohong dengan angka-angka. Ada 18 kebohongan yang dicatat oleh tokoh lintas agama. Mulai dari soal angka kemiskinan yang semakin tinggi, sampai mahalnya kesehatan di negeri ini, terutama buat rakyat miskin. 

Pemerintah SBY mengklaim pihaknya berhasil menjalankan rencana kerja di bidang perekonomian berupa pemulihan dan pertumbuhan ekonomi di 2010. Angka kemiskinan, misalnya, turun 0,8 persen dari 14,1 persen menjadi 13,3 persen. Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, menyebut, indikator keberhasilan itu terlihat dari turunnya angka kemiskinan dari 14,1 persen menjadi 13,3 persen. Pemerintah mencatat, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 32 juta jiwa pada 2009, turun menjadi 31,02 juta jiwa pada 2010. 

Tapi, Bappenas sendiri mengakui bahwa angka kemiskinan selama lima tahun terakhir ini terus mengalami penurunan, tetapi karena pertumbuhan ekonomi stagnan atau hanya jalan di tempat maka penurunan kemiskinan itu tidak tampak (Republika, Jumat, 12 November 2010,” Bappenas: Jumlah Kemiskinan Turun Tetapi tak Tampak”) Tapi lihatlah kenyataannya, dari penerimaan beras rakyat miskin tahun 2010 mencapai 70 juta jiwa (Bulog, 2010) dan penerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) menurut data Depkes RI tahun 2010 mencapai 76,4 juta jiwa. Presiden SBY pernah mencanangkan program 100 hari untuk swasembada pangan. Namun pada awal tahun 2011 kesulitan ekonomi justru terjadi secara masif. 

Yah, masa depan kita punya tantangan yang seruap dengan di Mesir. Walaupun dengan bungkusan dan nama produsen yang berbeda. Tapi, yang pasti, kemiskinan rakyat terpampang di depan mata kita, masa depan kita. Kemiskinan yang diproduksi oleh praktek korupsi yang merajalela, gurita mafia hukum yang membuat hukum dan Hak Asasi Manusia semakin terpuruk, dan pemerintah kita yang senang berbohong dengan angka-angkanya! [Azmi Sirajuddin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimah kasih atas komentarnya



Klik MUSIK Untuk mendengarkan )