Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional Klik di sini. Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional.

Cari Blog Ini

Rabu, 11 April 2012

Padiatapa yang Hampa


Menggugat FPIC: Kisah Penolakan Masyarakat Telaga

Oleh Azmi Sirajuddin

Mengapa Menolak

Desa Talaga yang terlatak di Kecamatan Dampelas, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, kembali menjadi pembicaraan. Bukan karena rencana festifal tahunan Danau Dampelas (Danau Talaga). Tapi penolakan masyarakatnya terhadap konsep FPIC. Di awal bulan Februari 2012, pemerintah Indonesia dan Provinsi Sulawesi Tengah, melalui Pokja REDD+ Sulawesi Tengah, mensosialisasikan gagasan FPIC yang akan dikembangkan di Sulawesi Tengah. Pada saat sosialisasi  di Desa Sabang, yang juga dihadiri oleh Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah, perwakilan masyarakat Talaga menyatakan penolakannya.

Mereka menolak karena dua alasan yang mendasar. Pertama, trauma terhadap proses penetapan Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH) Dampelas – Tinombo. KPH tersebut diputuskan oleh pemerintah melalui Menteri Kehutanan pada tahun 2009, seluas 100.912 Ha[3]. Di mana, masyarakat Talaga terheran-heran sekaligus geram. Bagaimana tidak, tiba-tiba, patok-patok penanda batas kawasan hutan sudah masuk di dalam tanah pertanian.

Padahal, masyarakat setempat tergolong masyarakat lokal. Yang sudah sejak lama menguasai dan mengelola tanah-tanah di sekitar hutan tersebut. Masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Termasuk, tentang pentapan kawasan KPH itu. Oleh sebab itu, masyarakat mulai ragu dengan niat baik pemerintah dalam setiap program pembangunan yang ditawarkan. Tidak terkecuali, skema REDD+ yang sejak tahun 2010 masuk ke wilayah Sulawesi Tengah. Walaupun masih sebatas pada tahapan kesiapan (readiness).

Kedua, masyarakat Talaga menolak konsep FPIC, sebab prinsip-prinsip di dalam FPIC tidak terpenuhi. Khususnya prinsip “Consent”, di mana  masyarakat punya hak untuk menyatakan keputusan atau pendapatnya. Baik secara langsung ataupun diwakili oleh pihak perwakilan. Dalam konteks KPH Dampelas-Tinombo, masyarakat Talaga meras  mereka tidak diberi ruang “Consent”[4]. Pemerintah tidak pernah mengajak mereka untuk bicara tentang kawasan KPH.

Oleh karena itu, terkait FPIC untuk menyambut skema REDD+ di Sulawesi Tengah, masyarakat menyatakan tidak sama sekali. Sebab, informasi REDD+ sekalipun tidak pernah disampaikan langsung oleh pemerintah. Hanya melalui beberapa organisasi masyarakat sipil. Seperti dari Pokja Pemantauan REDD Sulawesi Tengah. Mereka khawatir, proses penetapan KPH yang datangnya sepihak, juga akan berlaku pula dalam skema REDD+.



Setelah Penolakan

Beragam tanggapan yang muncul terkait sikap masyarakat Talaga itu. Misalnya, Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah menduga ada provokasi  dibalik penolakan itu. Salah satu pihak yang dituding sebagai provokator adalah Pokja Pemantauan REDD Sulawesi Tengah. Walaupun dugaan  itu sudah ditepis oleh Forum Pemerhati Tano Dampelas[5].

Adapun tanggapan pihak UNREDD Indonesia terhadap sikap itu lebih lunak. Walaupun UNREDD Indonesia sebagai pemrakarsa proyek “kesiapan REDD+” di Sulawesi Tengah. Hal itu berdasarkan hasil pertemuan antara Pokja Pemantauan REDD Sulawesi Tengah, beserta perwakilan masyarakat, dengan UNREDD Indonesia di Jakarta. Dalam pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 27 Maret 2012 itu, Ibu Laksmi Banowati memperoleh penjelasan terkait penolakan masyarakat. Setelah memperoleh penjelasan dari utusan masyarakat, UNREDD Indonesia menyepakati akan melakukan evaluasi terhadap sosialisasi konsep FPIC.

Untuk menghindari berbagai macam spekulasi pasca penolakan masyarakat Talaga, Pokja Pemantauan REDD Sulawesi Tengah berencana menggelar sebuah dialog. Yang mempertemukan perwakilan masyarakat Talaga, Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah, Pokja REDD+ Sulawesi Tengah dan UNREDD Indonesia.  Pertemuan itu nantinya diharapkan membuka tabir tentang penolakan masyarakat Talaga terhadap konsep FPIC Pokja REDD+ Sulawesi Tengah.



Mungkinkah Ada Alternatif Lain?

Sepertinya, kita memerlukan alternatif lain di luar gagasan FPIC, atau Padiatapa. Karena, apa yang disebut sebagai “keterlibatan penuh dan efektif dari berbagai kelompok kepentingan termasuk masyarakat adat dan lokal”, menjadi mandat internasional secara hukum. Meskipun, dalam artikel 72 di Perjanjian Cancun, Mexico, tidak secara ajek mengatakan sebagai konsep FPIC. Tapi, mungkin ada pilihan lain sebagai alternatif. Yang bisa dijadikan konsensus multipihak dalam skema REDD+ di Sulawesi Tengah.

Misalnya, konsensus tentang pembangunan rendah karbon berbasis nol deforestasi Amazonia. Di mana, berbagai kelompok kepentingan hutan di kawasan ekosistem Amazon di Brazil, bersepakat tentang gagasan umum penyelamatan hutan dan penurunan emisi. Terutama peran penting kelompok masyarakat adat dan lokal di Amazon. Walaupun, dalam perjalanannya kemudian, konsensus itu dibajak oleh birokrasi pemerintahan Brazil menjadi isu elitisi di level nasional.

Sebenarnya, masyarakat Talaga meminta hal yang sangat sederhana. “Kami ingin musyawarah menjadi asas untuk membuat keputusan, bukan mendahulukan mufakat yang sudah ditentukan hasilnya di Jakarta dan di Palu,” ujar Pak Ibrahim, Kepala Desa Talaga[6]. Logikanya sangat sederhana, mereka hanya menginginkan pengambilan keputusan berdasarkan persetujuan masyarakat. Bukan keputusan yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah.

Jadi, musayawarah untuk mufakat adalah bentuk sederhana FPIC. Bukan mendahulukan mufakat dan mengabaikan musyawarah. Musayawarah untuk mufakat, lebih diakui konsepnya oleh masyarakat daripada FPIC. Inilah bentuk sederhana FPIC, yang sudah sejak lama hidup di dalam masyarakat.

pusaka.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimah kasih atas komentarnya



Klik MUSIK Untuk mendengarkan )