TAU TAA WANA DALAM DERAP PERUBAHAN MONDIAL
Azmi Sirajuddin
Tana Ntautua Mami
Retu Sekatuvu Mami
Nempo Masiasi re Tana Mami
“Tana Leluhur Hidup Kami
Biar Hidup Sederhana
Asalkan di Tanah Kami”
Relasi Dengan Alam Semesta
Penggalan kayori (sastra lisan) tersebut di atas, menunjukkan betapa kuat
relasi Tau Taa Wana terhadap alam di sekitarnya. Pada setiap perjumpaan kita
dengan komunitas ini, mereka pasti akan bilang bahwa, gunung ibarat tubuh dan
sungai ibarat jiwa. Oleh sebab itu, alam sekitar mesti diperlakukan dengan
baik. Salah satu gunung yang melegenda ialah Gunung Sinara (Lemban Sinara). Sedangkan, sungai yang
melegenda bagi kehidupan mereka adalah Sungai Bongka (Koro Bongka).
Karena sebaran mukim mereka berada di
dalam dan sekitar hutan, ketergantungan atas sumber daya hutan sangat tinggi.
Demi kepentingan itu, mereka mengelola serta memanfaatkan hutan dengan pola
lestari. Agar lestari, dan tetap
berkesinambungan, hutan dibahagi untuk sejumlah peruntukkan. Masing-masing
memiliki kekhususan serta cara pemanfatannya (Camang, 2003).
Pangale
Kapali (hutan keramat, hutan larangan), adalah hutan alam yang tidak boleh
dibuka. Sebab, di dalamnya memiliki kompleksitas ekosistem yang mesti
dilindungi dan dijaga agar tidak rusak dan punah. Berikutnya, Pangale (hutan yang boleh dibuka) secara
umum dapat dibuka dan dimanfaatkan. Terutama, untuk memanfaatkan hasil hutan
bukan kayu (HHBK), seperti rotan, damar, lebah madu, tanaman obat, hewan
buruan, maupun jasa lingkungannya.
Di kawasan Pangale itulah dapat pula dibuka lahan pertanian (Navu), utamanya untuk menanam padi
ladang (Pae). Di ladang itu pula
dapat ditanam jagung dan ubi-ubian. Setelah 3 sampai 5 tahun lamanya, mereka
harus berpindah ke lahan baru. Ladang yang sudah ditinggalkan untuk beberapa
tahun ke depan, akan mulai ditumbuhi semak belukar dan tunas pohon. Ladang yang
sudah ditinggalkan itu disebut dengan Bonde.
Bonde,
perlahan dan pasti akan menjadi hutan sekunder (Yopo Mangura), dengan usai pepohonan di bawah 10 tahun. Selepas
itu, Yopo Mangura akan semakin lebat
dan padat oleh tutupan hutan menjadi hutan primer (Yopo Masia). Dengan usia pepohonan lebih dari 10 tahun. Yopo Masia tersebut kemudian akan
berkembang seterusnya, hingga kembali menjadi Pangale.
Hutan yang telah kembali pulih dalam
kurun waktu tertentu, selanjutnya akan dimasuki kembali. Inilah yang disebut
dengan sistem rotasi gilir balik dalam perladangan. Menurut Alvard, sistem
rotasi itu akan menjaga hutan tetap lestari dan tidak rusak akibat aktivitas
ladang berpindah. Alvard juga menyebutkan, bahwa, luas rotasi gilir perladangan
Tau Taa Wana, tidak melebihi areal 2 hektar. Sebab luas ladang masing-masing
keluarga sangatlah kecil (Alvard, 1999).
Eskalasi Kepentingan
Orang
luar lebih mengenal mereka dengan sebutan “Wana” (Kaudern, 1925). Bahasa
Sanskrit
yang artinya hutan, kemudian menjadi sebutan yang populer untuk
komunitas ini. Diperkenalkan pertama
kali oleh misionaris dan etnolog Eropa, yang bertugas untuk Pemerintahan Hindia
Belanda. Namun, Tau Taa Wana sendiri menolak sebutan itu. Sebab, kata Wana,
lebih sebagai stigma negatif atas diri mereka. Seperti keterbelakangan,
penghuni hutan dan suku terasing (Kruyt, 1930).
Mereka lebih senang
mengidentifikasikan dirinya dengan Tau
Taa. Penyebutan Tau Taa Wana, selanjutnya digunakan oleh Yayasan Merah
Putih (YMP), untuk memperkenalkan komunitas ini ke masyarakat yang lebih luas.
Baik di level Sulawesi Tengah, nasional maupun global. Penggunaan istilah itu
kemudian disepakati oleh Tau Taa Wana. Sekaligus, bentuk kompromi di antara
kepentingan sosial komunitas, maupun kepentingan politik pemerintah.
Atkinson
mencatat, tarik menarik kepentingan sosial, politik dan ekonomi lokal maupun
mondial, sudah berlangsung lama di tengah komunitas ini. Antara abad 17 hingga
abad 19, Tau Taa Wana berada dalam pusaran pertarungan politik ekspansionis
kerajaan-kerajaan regional. Semacam Kerajaan Banggai di timur, Kerajaan Tojo di
utara, dan Kerajaan Bungku di Selatan. Serta, gerak ekspansionis bangsa Belanda
dan Jepang dari abad 19 sampai awal abad 20 (Atkinson, 1985).
Pusat-pusat kerajaan tersebut, sekaligus
berfungsi sebagai bandar-bandar niaga yang sibuk pada zamannya. Misalnya, pusat
Kerajaan Tojo yang berpusat di pinggir Teluk Tomini. Merupakan bandar niaga
yang sibuk bagi komoditi kopra, damar dan rotan menuju Pasifik dan Asia Timur.
Menjangkau Jepang, Korea, Taiwan, China, hingga ke Eropa melalui jalur sutra.
Dari sana pula, barang bertukar lagi seperti porselin, piring, sutra, wol,
garam, minyak zaitun dan wewangian, hingga perhiasan.
Tak heran, dalam ritual pengobatan (Valia), obat-obatan herbal lokal berbaur
dengan wewangian timur tengah dalam nampan tabib (To Valia). Dalam ritual tersebut, terkadang mantra To Valia disisipi ungkapan yang
bersumber dari ajaran Islam. Mungkin pengaruh dari kerajaan-kerajaan tersebut
yang umumnya menganut Islam. Walaupun, hingga kini, Tau Taa Wana tetap menganut
keyakinan tradisionalnya, Khalaik (Atkinson,
1989). Kita akan sulit menemukan penganut Islam ataupun Kristen di kalangan Tau
Taa Wana. Walau silih berganti dakwah Islam dan misi Kristen berdatangan, sejak
abad 17.
Lazimnya orang awam, ketika hendak berpergian
ke luar daerah, misalnya ke Ampana, Kolonodale, Luwuk dan ke Palu, mereka pun
harus membuat Kartu Tanda Penduduk. Ketika ditanya oleh petugas di Kantor Desa
atau Kecamatan terdekat, terutama tentang lema Agama, mereka akan menjawab
“terserah”. Sebab, bagi mereka, Islam, Kristen, Hindu, Budha dan lainnya,
hanyalah penamaan saja. Bagi mereka,
keyakinan akan sang pencipta yang agung, yang tunggal dan kuasa, melebihi
segala penamaan agama yang beragam. Jangan heran, anda pasti akan menemukan
beragam lema Agama dalam KTP yang dipunyai oleh Tau Taa Wana.
Melawan Marjinalisasi
Salah satu cara melawan marjinalisasi
sistemik ialah dengan belajar membaca, menulis dan berhitung. Sejak tahun 2005,
pemuka masyarakat Tau Taa Wana bersama
aktivis dari Yayasan Merah Putih (YMP), mulai merintis pembangunan Sekolah Lipu. Artinya, sekolah kampung,
yang kemudian dalam lafal setempat diucapkan seperti ”skola lipu”. Secara
fisik, sekolah dalam pendekatan ini sangat berbeda dengan sekolah pada umumnya.
Mulanya, hanya segelintir dari mereka
yang bergabung. Namun, setelah melihat ketekunan yang ditunjukkan oleh generasi
muda, para tetua dan pemangku adat, serta generasi tua, juga ikut bergabung.
Pada tahun 2010, hampir separuh dari anggota komunitas, mulai dari anak-anak
hingga yang tua, sudah dapat membaca dan menulis dengan lancar.Kini, mereka
mulai percaya diri, dan berharap kelak, mereka akan mampu memperjuangkan
hak-haknya sendiri dihadapan pihak lain.
Proses belajar di Skola Lipu berlangsung dengan model alternatif. Tempat belajar
dapat berlangsung di mana saja. Terkadang di Banua Bae (balai pertemuan), ada kalanya di pinggir sungai, di
tepian hutan, atau di tengah ladang. Tenaga pengajarnya, selain dari aktivis
Yayasan Merah Putih (YMP), juga anggota komunitas yang sudah mahir membaca dan
menulis. Anggota komunitas yang sudah mahir, akan bergantian menjadi guru bagi
kaumnya.
Era 1980-an hingga 1990-an, ialah
priode kelam tanpa kehadiran entitas negara (pemerintah) sebagai pembela.
Mereka dibiarkan bertarung sendiri, melawan keganasan dan sifat rakus
investasi. Hutan yang kaya keragaman hayatinya, habis digunduli oleh investasi
pembalakan. Ladang-ladang pertanian tanaman pangan yang produktif, diambil alih
sebagai milik negara dalam skema transmigrasi. Ketika sawit muncul menjadi
primadona baru, mereka dipaksa untuk dijadikan pekerja perkebunan.
Di penghujung tahun 1999, dalam satu mogombo bae (pertemuan besar) antar
lipu, mereka mencetuskan satu manifesto. Sesuatu yang sangat menyentuh, “tare pamarenta tare negara”. Mereka tidak akan mengakui pemerintah dan
negara Indonesia, jika pemerintah dan negara Indonesia tidak mengakui hak-hak
dasar mereka. Manisfesto sosial-politik yang kemudian dikirim hingga ke
Presiden Indonesia di Jakarta.
Setelah 12 tahun berselang, manifesto
itu melahirkan satu harapan baru ke depan. Pemerintah Kabupaten Tojo Una-Una, mengeluarkan
Peraturan Bupati No.13 Tahun 2011, tentang Pengakuan dan Perlindungan
Penyelenggaraan Sekolah Lipu. Dengan diakuinya model dan proses belajar di Skola Lipu, berarti negara dan
pemerintah mengakui pentingnya kebutuhan pendidikan bagi Tau Taa Wana.
Satu tahun berselang, Pemerintah
Kabupaten Morowali bersama DPRD setempat, menetapkan Peraturan Daerah No.13
Tahun 2012, tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana
di Kabupaten Morowali. Perda ini
diharapkan sebagai terobosan hukum dan politik di level kabupaten, setelah
Perda di level provinsi digagalkan oleh pihak-pihak tertentu.
Dengan
situasi yang semakin berubah di level mondial, seperti isu pemanasan global
dengan perubahan iklim, maupun krisis ekonomi, Tau Taa Wana tetap menyikapinya
dengan kehidupan sederhana. Bahkan, untuk memperkuat basis ekonominya yang
bertumpu pada sumber daya hutan bukan kayu, Koperasi Serba Usaha Wana Mandiri
dapat menjadi jembatan. Meskipun disadari bersama, bahwa, komoditi hasil hutan bukan kayu
semacam rotan,damar dan madu, tidak mendapat proteksi pasar dari pemerintah.
Sekali lagi, kehadiran negara dalam
diri pemerintah, perlu dibuktikan pula dalam hal proteksi atas komoditas lokal.
Jangan pernah membiarkan Tau Taa Wana bertarung sendiri melawan keganasan
pasar.*
Rujukan:
Alvard, Michael., 1999. “The Impact of Traditional Subsistance
Hunting and Trapping on Prey Population : Data from Wana Horticulturalists of
Upland Central Sulawesi, Indonesia” In Hunting
for Sustainability in Tropical Forests, Robbinson, J.and Bennet, E., (ed).
Columbia University Press.
Alvard, Michael., t.t. “How much land do the Wana use ? Chapher 5.” In : SUBSISTANCE, MATERIAL, AND DEMOGRAPHIC APPROACHES
TO MOBILITY. F. Sellet, R.D. Greaves,
and P.L.Yu, editors. Gainesville
: University Press of Florida. www.earthscape.org Download tanggal 4 Juni 2005.
Atkinson, Jane Monnig., 1989. The
Art and Politics of Wana Shamanship. University of California Press,
Barkeley
Atkinson, Jane Monnig., 1985. “Agama
dan Suku Wana di Sulawesi Tengah”, dalam Michael Dove, Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi, Yayasan
Obor Indonesia.
Camang, Nasution., 2003. Tau
Taa wana Bulang : Bergerak untuk Berdaya. Yayasan Merah Putih Palu dan
Regenskogfondet Indonesia.
Kaudern, W., 1925. ETHNOGRAPHICAL
STUDIES IN CELEBES. Migration of the Toraja in Central Celebes. Results of
the Author’s Expedition To Celebes 1917 – 1920. Elander Boktryckeri Aktiebolag,
Goterbog.
Kruyt, A.C., 1930. “De To
Wana op Oost-Celebes”. Tijdschrift voor Indesche Taal, Land en Volkenkunde.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih atas komentarnya