Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional Klik di sini. Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional.

Cari Blog Ini

Minggu, 13 Januari 2013

TAU TAA WANA DALAM DERAP PERUBAHAN MONDIAL

TAU TAA WANA DALAM DERAP PERUBAHAN MONDIAL

 Azmi Sirajuddin




Tana Ntautua Mami
Retu Sekatuvu Mami
Nempo Masiasi re Tana Mami
“Tana Leluhur Hidup Kami
Biar Hidup Sederhana
Asalkan di Tanah Kami”


Relasi Dengan Alam Semesta

Penggalan kayori (sastra lisan) tersebut di atas, menunjukkan betapa kuat relasi Tau Taa Wana terhadap alam di sekitarnya. Pada setiap perjumpaan kita dengan komunitas ini, mereka pasti akan bilang bahwa, gunung ibarat tubuh dan sungai ibarat jiwa. Oleh sebab itu, alam sekitar mesti diperlakukan dengan baik. Salah satu gunung yang melegenda ialah Gunung Sinara (Lemban Sinara). Sedangkan, sungai yang melegenda bagi kehidupan mereka adalah Sungai Bongka (Koro Bongka).

Karena sebaran mukim mereka berada di dalam dan sekitar hutan, ketergantungan atas sumber daya hutan sangat tinggi. Demi kepentingan itu, mereka mengelola serta memanfaatkan hutan dengan pola lestari.  Agar lestari, dan tetap berkesinambungan, hutan dibahagi untuk sejumlah peruntukkan. Masing-masing memiliki kekhususan serta cara pemanfatannya (Camang, 2003).

Pangale Kapali (hutan keramat, hutan larangan), adalah hutan alam yang tidak boleh dibuka. Sebab, di dalamnya memiliki kompleksitas ekosistem yang mesti dilindungi dan dijaga agar tidak rusak dan punah. Berikutnya, Pangale (hutan yang boleh dibuka) secara umum dapat dibuka dan dimanfaatkan. Terutama, untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti rotan, damar, lebah madu, tanaman obat, hewan buruan, maupun jasa lingkungannya.

Di kawasan Pangale itulah dapat pula dibuka lahan pertanian (Navu), utamanya untuk menanam padi ladang (Pae). Di ladang itu pula dapat ditanam jagung dan ubi-ubian. Setelah 3 sampai 5 tahun lamanya, mereka harus berpindah ke lahan baru. Ladang yang sudah ditinggalkan untuk beberapa tahun ke depan, akan mulai ditumbuhi semak belukar dan tunas pohon. Ladang yang sudah ditinggalkan itu disebut dengan Bonde.


Bonde, perlahan dan pasti akan menjadi hutan sekunder (Yopo Mangura), dengan usai pepohonan di bawah 10 tahun. Selepas itu, Yopo Mangura akan semakin lebat dan padat oleh tutupan hutan menjadi hutan primer (Yopo Masia). Dengan usia pepohonan lebih dari 10 tahun. Yopo Masia tersebut kemudian akan berkembang seterusnya, hingga kembali menjadi Pangale. 

 Hutan yang telah kembali pulih dalam kurun waktu tertentu, selanjutnya akan dimasuki kembali. Inilah yang disebut dengan sistem rotasi gilir balik dalam perladangan. Menurut Alvard, sistem rotasi itu akan menjaga hutan tetap lestari dan tidak rusak akibat aktivitas ladang berpindah. Alvard juga menyebutkan, bahwa, luas rotasi gilir perladangan Tau Taa Wana, tidak melebihi areal 2 hektar. Sebab luas ladang masing-masing keluarga sangatlah kecil (Alvard, 1999).


Eskalasi Kepentingan 

Orang luar lebih mengenal mereka dengan sebutan “Wana” (Kaudern, 1925). Bahasa Sanskrit 
yang artinya hutan, kemudian menjadi sebutan yang populer untuk komunitas ini.  Diperkenalkan pertama kali oleh misionaris dan etnolog Eropa, yang bertugas untuk Pemerintahan Hindia Belanda. Namun, Tau Taa Wana sendiri menolak sebutan itu. Sebab, kata Wana, lebih sebagai stigma negatif atas diri mereka. Seperti keterbelakangan, penghuni hutan dan suku terasing (Kruyt, 1930). 

Mereka lebih senang mengidentifikasikan dirinya dengan Tau Taa. Penyebutan Tau Taa Wana, selanjutnya digunakan oleh Yayasan Merah Putih (YMP), untuk memperkenalkan komunitas ini ke masyarakat yang lebih luas. Baik di level Sulawesi Tengah, nasional maupun global. Penggunaan istilah itu kemudian disepakati oleh Tau Taa Wana. Sekaligus, bentuk kompromi di antara kepentingan sosial komunitas, maupun kepentingan politik pemerintah.

Atkinson mencatat, tarik menarik kepentingan sosial, politik dan ekonomi lokal maupun mondial, sudah berlangsung lama di tengah komunitas ini. Antara abad 17 hingga abad 19, Tau Taa Wana berada dalam pusaran pertarungan politik ekspansionis kerajaan-kerajaan regional. Semacam Kerajaan Banggai di timur, Kerajaan Tojo di utara, dan Kerajaan Bungku di Selatan. Serta, gerak ekspansionis bangsa Belanda dan Jepang dari abad 19 sampai awal abad 20 (Atkinson, 1985). 

Pusat-pusat kerajaan tersebut, sekaligus berfungsi sebagai bandar-bandar niaga yang sibuk pada zamannya. Misalnya, pusat Kerajaan Tojo yang berpusat di pinggir Teluk Tomini. Merupakan bandar niaga yang sibuk bagi komoditi kopra, damar dan rotan menuju Pasifik dan Asia Timur. Menjangkau Jepang, Korea, Taiwan, China, hingga ke Eropa melalui jalur sutra. Dari sana pula, barang bertukar lagi seperti porselin, piring, sutra, wol, garam, minyak zaitun dan wewangian, hingga perhiasan.

Tak heran, dalam ritual pengobatan (Valia), obat-obatan herbal lokal berbaur dengan wewangian timur tengah dalam nampan tabib (To Valia). Dalam ritual tersebut, terkadang mantra To Valia disisipi ungkapan yang bersumber dari ajaran Islam. Mungkin pengaruh dari kerajaan-kerajaan tersebut yang umumnya menganut Islam. Walaupun, hingga kini, Tau Taa Wana tetap menganut keyakinan tradisionalnya, Khalaik (Atkinson, 1989). Kita akan sulit menemukan penganut Islam ataupun Kristen di kalangan Tau Taa Wana. Walau silih berganti dakwah Islam dan misi Kristen berdatangan, sejak abad 17. 

 Lazimnya orang awam, ketika hendak berpergian ke luar daerah, misalnya ke Ampana, Kolonodale, Luwuk dan ke Palu, mereka pun harus membuat Kartu Tanda Penduduk. Ketika ditanya oleh petugas di Kantor Desa atau Kecamatan terdekat, terutama tentang lema Agama, mereka akan menjawab “terserah”. Sebab, bagi mereka, Islam, Kristen, Hindu, Budha dan lainnya, hanyalah penamaan saja.  Bagi mereka, keyakinan akan sang pencipta yang agung, yang tunggal dan kuasa, melebihi segala penamaan agama yang beragam. Jangan heran, anda pasti akan menemukan beragam lema Agama dalam KTP yang dipunyai oleh Tau Taa Wana.

Melawan Marjinalisasi

Salah satu cara melawan marjinalisasi sistemik ialah dengan belajar membaca, menulis dan berhitung. Sejak tahun 2005, pemuka masyarakat Tau Taa Wana  bersama aktivis dari Yayasan Merah Putih (YMP), mulai merintis pembangunan Sekolah Lipu. Artinya, sekolah kampung, yang kemudian dalam lafal setempat diucapkan seperti ”skola lipu”. Secara fisik, sekolah dalam pendekatan ini sangat berbeda dengan sekolah pada umumnya.


 Mulanya, hanya segelintir dari mereka yang bergabung. Namun, setelah melihat ketekunan yang ditunjukkan oleh generasi muda, para tetua dan pemangku adat, serta generasi tua, juga ikut bergabung. Pada tahun 2010, hampir separuh dari anggota komunitas, mulai dari anak-anak hingga yang tua, sudah dapat membaca dan menulis dengan lancar.Kini, mereka mulai percaya diri, dan berharap kelak, mereka akan mampu memperjuangkan hak-haknya sendiri dihadapan pihak lain. 

Proses belajar di Skola Lipu berlangsung dengan model alternatif. Tempat belajar dapat berlangsung di mana saja. Terkadang di Banua Bae (balai pertemuan), ada kalanya di pinggir sungai, di tepian hutan, atau di tengah ladang. Tenaga pengajarnya, selain dari aktivis Yayasan Merah Putih (YMP), juga anggota komunitas yang sudah mahir membaca dan menulis. Anggota komunitas yang sudah mahir, akan bergantian menjadi guru bagi kaumnya.

Era 1980-an hingga 1990-an, ialah priode kelam tanpa kehadiran entitas negara (pemerintah) sebagai pembela. Mereka dibiarkan bertarung sendiri, melawan keganasan dan sifat rakus investasi. Hutan yang kaya keragaman hayatinya, habis digunduli oleh investasi pembalakan. Ladang-ladang pertanian tanaman pangan yang produktif, diambil alih sebagai milik negara dalam skema transmigrasi. Ketika sawit muncul menjadi primadona baru, mereka dipaksa untuk dijadikan pekerja perkebunan.  

Di penghujung tahun 1999, dalam satu mogombo bae (pertemuan besar) antar lipu, mereka mencetuskan satu manifesto. Sesuatu yang sangat menyentuh, “tare pamarenta tare negara”.  Mereka tidak akan mengakui pemerintah dan negara Indonesia, jika pemerintah dan negara Indonesia tidak mengakui hak-hak dasar mereka. Manisfesto sosial-politik yang kemudian dikirim hingga ke Presiden Indonesia di Jakarta.

Setelah 12 tahun berselang, manifesto itu melahirkan satu harapan baru ke depan. Pemerintah Kabupaten Tojo Una-Una, mengeluarkan Peraturan Bupati No.13 Tahun 2011, tentang Pengakuan dan Perlindungan Penyelenggaraan Sekolah Lipu. Dengan diakuinya model dan proses belajar di Skola Lipu, berarti negara dan pemerintah mengakui pentingnya kebutuhan pendidikan bagi Tau Taa Wana.

Satu tahun berselang, Pemerintah Kabupaten Morowali bersama DPRD setempat, menetapkan Peraturan Daerah No.13 Tahun 2012, tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana di Kabupaten Morowali.  Perda ini diharapkan sebagai terobosan hukum dan politik di level kabupaten, setelah Perda di level provinsi digagalkan oleh pihak-pihak tertentu.

Dengan situasi yang semakin berubah di level mondial, seperti isu pemanasan global dengan perubahan iklim, maupun krisis ekonomi, Tau Taa Wana tetap menyikapinya dengan kehidupan sederhana. Bahkan, untuk memperkuat basis ekonominya yang bertumpu pada sumber daya hutan bukan kayu, Koperasi Serba Usaha Wana Mandiri dapat menjadi jembatan. Meskipun disadari bersama,  bahwa, komoditi hasil hutan bukan kayu semacam rotan,damar dan madu, tidak mendapat proteksi pasar dari pemerintah.

Sekali lagi, kehadiran negara dalam diri pemerintah, perlu dibuktikan pula dalam hal proteksi atas komoditas lokal. Jangan pernah membiarkan Tau Taa Wana bertarung sendiri melawan keganasan pasar.*

Rujukan:
Alvard, Michael., 1999. The Impact of Traditional Subsistance Hunting and Trapping on Prey Population : Data from Wana Horticulturalists of Upland Central Sulawesi, Indonesia” In Hunting for Sustainability in Tropical Forests, Robbinson, J.and Bennet, E., (ed). Columbia University Press.

Alvard, Michael., t.t. “How much land do the Wana use ? Chapher 5.” In : SUBSISTANCE, MATERIAL, AND DEMOGRAPHIC APPROACHES TO MOBILITY. F. Sellet, R.D. Greaves, and P.L.Yu, editors. Gainesville : University Press of Florida. www.earthscape.org Download tanggal 4 Juni 2005.

Atkinson, Jane Monnig., 1989. The Art and Politics of Wana Shamanship. University of California Press, Barkeley

Atkinson, Jane Monnig., 1985. “Agama dan Suku Wana di Sulawesi Tengah”, dalam Michael Dove, Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi, Yayasan Obor Indonesia.

Camang, Nasution., 2003. Tau Taa wana Bulang : Bergerak untuk Berdaya. Yayasan Merah Putih Palu dan Regenskogfondet Indonesia.

Kaudern, W., 1925. ETHNOGRAPHICAL STUDIES IN CELEBES. Migration of the Toraja in Central Celebes. Results of the Author’s Expedition To Celebes 1917 – 1920. Elander Boktryckeri Aktiebolag, Goterbog.

Kruyt, A.C., 1930. “De To Wana op Oost-Celebes”. Tijdschrift voor Indesche Taal, Land en Volkenkunde.









Kamis, 27 Desember 2012

IRONI KPH DAMPELAS TINOMBO

IRONI KPH DAMPELAS TINOMBO

Azmi Sirajuddin




Sekilas KHP Dampelas Tinombo

     Kawasan ini ditetapkan sebagai wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan  Nomor : SK. 792/MENHUT-II/2009, pada tanggal 7 Desember 2009. Total luasan areal kerja mencapai 103.208,66 hektar. Didominasi oleh fungsi hutan produksi seluas 74.747,13 hektar, atau 74% dari luas kawasan. Dengan tujuan utama untuk fungsi produksi.
         Secara geografis, kawasan ini membentang di dua wilayah administratif kabupaten. Di Kabupaten Donggala, meliputi Kecamatan Dampelas, Sojol dan Balaesang. Sedangkan, di Kabupaten Parigi Moutong, terdiri atas Kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan. Total penduduk yang berkaitan langsung dengan kawasan tersebut sebesar 72.294 jiwa.
         Sejak kawasan ini ditetapkan, berbagai protes dan penolakan disampaikan oleh masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan. Misalnya, protes masyarakat di Desa Talaga Kecamatan Dampelas. Penolakan serupa juga muncul dari masyarakat di Desa Sipayo, Kecamatan Tinombo. Mereka menolak pemasangan tapal batas kawasan hutan yang tidak melibatkan masyarakat. 
         Sepengetahuan masyarakat, bahwa, pihak Kehutanan pernah datang melakukan inventarisasi hutan. Ternyata, kegiatan tersebut berselubung pemasangan pal batas hutan . Terbukti, di Desa Sipayo maupun Desa Talaga, pal-pal kawasan hutan muncul secara tiba-tiba dalam lahan pertanian masyarakat. 
         Dalam berbagai dokumen tentang KPH, disebutkan bahwa KPH Dampelas Tinombo akan dipersiapkan sebagai lokasi implementasi proyek REDD di level tapak. Oleh sebab itu, kehadiran KPH Dampelas Tinombo, tidak terlepas dari posisi Sulawesi Tengah sebagai salah satu provinsi percontohan REDD+. 
         Ujicoba tahap kesiapan REDD+ melalui dukungan UN-REDD Indonesia sejak tahun 2010,  juga menjadikan KPH Dampelas Tinombo sebagai lokasi sasaran. Termasuk ujicoba konsep Free Prior and Informed Consent (FPIC) di Desa Talaga dan Lembah Mukti. Ketika ujicoba itu mendapat penentangan dari masyarakat setempat, pihak UN-REDD Indonesia bersama Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah meradang.


Ironi Kebohongan

         Kebohongan sebagai wajah sejati pembangunan, kembali dipertontonkan oleh rezim pembangunan. Termasuk, dalam kehadiran KPH Dampelas Tinombo di Sulawesi Tengah. Untuk memuluskan seluruh proyek tanpa kendala, segala penghalang harus dilepaskan untuk mencapai tujuan pasar (Gilpin, 1987: 266). Tujuan pasar dan institusi ekonomi terkait KPH Dampelas Tinombo, ialah, memuluskan cita-cita pasar karbon, dengan mengusung semangat lestari. Melalui episode penurunan emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan.
         Memutus kendala politik, sosial dan ekonomi dalam sebuah rencana pembangunan, dapat dilakukan dengan beragam cara. Misalnya, yang terkait dengan KPH dan REDD+, konsep FPIC sebagai syarat yang diharuskan, justru gagasannya tidak dibangun berdasarkan kebutuhan masyarakat. Temuan dari Kelompok Kerja Pemantauan REDD Sulawesi Tengah, menyatakan, bahwa konsep FPIC di lokasi tapak seperti Desa Talaga, Lembah Mukti, Pakuli dan Simoro, justru ditentukan oleh keinginan pihak UN-REDD Indonesia.
       Secara substansi, konsep FPIC yang dibangun di lokasi-lokasi tersebut, belum menyentuh kepentingan masyarakat setempat (Kleden dkk, 2012). Kekhawatiran ini, sudah disampaikan jauh sebelumnya oleh lembaga swadaya masyarakat. Bahwa, KPH sebagai embrio untuk tapak REDD+ di Sulawesi Tengah, dapat menimbulkan problem baru kehutanan (Sirajuddin dkk, 2011). Relasi antara pembagian pohon jabon di Desa Lembah Mukti, misalnya, dengan sosialisasi FPIC, justru berlangsung dalam waktu yang sama. Sehingga, tidak dapat dipisahkan, mana kegiatan KPH, mana pula kegiatan UN-REDD.

Kegagalan Prematur

     Menurut Kepala Unit Pelaksan Tehnis (UPT) KPH Dampelas Tinombo, Ir.Agus Effendi, Msi, sejak tahun 2009 sampai 2012, pihaknya telah memperoleh anggaran sebesar 2 milyar dari APBN. Serta 5 milyar dari pos APBD Sulawesi Tengah. Besaran dana itu dipergunkan untuk berbagai aktivitas, seperti pengadaan perlengkapan kerja, dana operasional kantor, hingga survei potensi kawasan.
     Namun, sejumlah aktivitas yang disebutkan dalam laporan bulan Mei 2012 itu, sama sekali tidak diketahui oleh masyarakat sekitar kawasan.  Bahkan, aktivitas inventarisasi potensi kawasan, dan penataan areal kerja (survei blok/petak), tidak diketahui oleh masyarakat setempat. Kalaupun kegiatan tersebut benar dilakasanakan, seharusnya melibatkan peran serta masyarakat setempat.
       Seharusnya, inventarisasi potensi kawasan dilakukan untuk memetakan dan mendokumentasikan berbagai pola pemanfaatan ruang di dalamnya. Serta, untuk menemukan pihak mana saja yang berkaitan dengan klaim penguasaan dan kepimilikan tenurial. Khususnya, lahan-lahan masyarakat yang sudah dikelola secara turun temurun. 
      Hal itu untuk menghindari klaim sepihak atas batas-batas kawasan hutan oleh pihak KPH. Seperti yang terjadi di Desa Talaga, Kecamatan Dampelas, maupun di Desa Sipayo, Kecamatan  Tinombo. Rencana-rencana awal KPH yang ingin menjadikan masyarakat sebagai bahagian dari pelaku kehutanan, faktanya, gagal prematur.
      Sebab, bagaimanapun juga, kawasan KPH Dampelas Tinombo dihuni oleh kelompok-kelompok etnis lokal. Seperti Tajio, Lauje, Dampelas dan Pendau. Mereka ini, telah lama mendiami gugusan hutan dalam kawasan tersebut dengan pola pemanfaatan yang lestari. Terbukti, hingga hari ini, gugusan hutan yang dijadikan KPH tetap dapat berkesinambungan.
    Sayang sekali, komitmen politik untuk pembaruan tata kelola kehutanan, tidak dibarengi oleh konsistensi sikap institusi. Mulai dari poros Kementrian Kehutanan di level pusat, Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah di level provinsi, hingga Kepala UPT KPH di level tapak.

Referensi:
1.    Gilpin, Robert. 1987. The Issue of Dependency and Economic Development dalam The Political Economy of International Relations. Princeton: Princeton University Press.
2.    Kleden, Emil dkk. 2012. Laporan Evaluasi Rintisan FPIC di Sulawesi Tengah. Jakarta: UNREDD Programme Indonesai. Dapat diunduh di www.un-redd.or.id
3.    Sirajuddin, Azmi dkk. 2011. Kami Inginkan Padiatapa dan Rambu Keselamatan. Jakarta: PUSAKA-POKJA PANTAU-YMP


Selasa, 27 November 2012


Minggu, 25 November 2012

KAWASAN KONSERVASI: Warga Lembah Napu desak pembuatan perda KKM


PALU: Warga Lembah Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, mendesak pemerintah kabupaten untuk membuat peraturan daerah mengenai kawasan konservasi masyarakat.

Ketua kelompok kerja pantau REDD Sulteng Azmi Sirajuddin hari ini mengatakan, masyarakat di kawasan Lembah Napu sudah 10 tahun mendesak agar dibuatkan perda kawasan konservasi.


Klik MUSIK Untuk mendengarkan )