Dukungan moril muncul dari pihak Raja Banggai
kepada komunitas Tau Taa Wana. Hal ini dipastikan setelah Raja Banggai saat ini
(Ir.Iskandar Zaman, MM), menyatakan langsung sikapnya di hadapan aktivis
Aliansi Masyarakat Adat Banggai (AMABA), Hasyim Tala. Hasyim Tala diundang Raja
Banggai menghadiri Peringatan Hari Jadi Banggai yang ke-409, di Keraton Banggai
belum lama ini.
Di hadapan para Basalo Sangkap, Bosano dan
Bosanyo, Gunung (panggilan akrab Raja Banggai tersebut),menguraikan tentang
kondisi masyarakat adat di dua wilayah kabupaten. Menurutnya, masyarakat adat
saat ini semakin termarjinalkan oleh beragam kebijakan pembangunan yang
ditempuh pemerintah. Terutama di Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan, dua
wilayah yang berkerabat secara historis dan kultur.
Salah satu indikator ketermarjinalan itu adalah
minimnya pelibatan masyarakat adat dalam setiap perencanaan pembangunan.
Padahal, masyarakat adat termasuk komponen masyarakat Indonesia juga, yang
keberadaannya diakui oleh konstitusi dasar Negara, UUD 1945. Karena itu
menurutnya, komunitas masyarakat adat di kedua wilayah ini harus merevitalisasi
perjuangannya. Khususnya untuk memperoleh pengakuan secara yuridis dan
sosiologis sekaligus.
Dia menyorot semrawutnya sistem
perundang-undangan kita. Contohnya, Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 secara
tegas menyatakan pengakuan atas entitas masyarakat adat. Sepanjang itu masih
bisa dibuktikan keberadaannya. Misalnya, masih berlakunya sistem adat setempat.
Yang bisa berupa norma, hukum, kelembagaan, hingga kearifan lokal
pengelolaan sumber-sumber agraria.
Tapi, kebijakan pemerintah justru menganulir
sendiri Undang-Undang yang dibuatnya. Contohnya, Gubernur Sulteng Azis
Lamadjido pada tahun 1992, mengeluarkan Surat Edaran tentang Pencabutan Status
Kepemilikan Tanah Swapraja di wilayah administrasi Sulawesi Tengah.
Imbasnya, seluruh tanah dan lahan tenurial
(kepemilikan adat dan komunalisme) dicabut haknya. Yang lebih mengherankan,
seluruh pihak termasuk instansi semacam BPN dan Dinas Kehutanan, mengamini
begiut saja Surat Edaran tersebut. Tanpa ada pengkajian lebih mendalam dan
komprehensif.
Padahal, dari sisi hukum dan hirarki perundang-undangan
di negeri ini, Surat Edaran tidak bisa menganulir satu Undang-Undang. Karena
Undang-Undang lebih di atas posisinya. Belum lagi, Surat Edaran tidak masuk
dalam hirarki perundang-undangan kita.
Pihak Keraton Banggai sendiri pasca keluarnya
Surat Edaran tersebut kehilangan banyak tanah dan lahan tenurialnya. Padahal
tanah serta lahan tenurial tersebut merupakan warisan leluhur pendiri Kerajaan
Banggai.
Ada yang dibangun sendiri oleh leluhur
Kerajaan. Ada pula pemberian dari masyarakat sekitar Keraton. Tanah-tanah
tersebut dimiliki dan dikelola secara komunal oleh keluarga Keraton Banggai.
Bahkan, pihak kolonial VOC hingga pemerintah Hindia Belanda dan Jepang,
mengakui status itu.
Dampak beredarnya Surat Edaran tersebut juga
dirasakan oleh entitas masyarakat adat lainnya. Seperti halnya Tau Taa yang ada
di dataran Toili. Pak Nasrun dan Pak Amhar merasakan situasi yang sama. Sebagai
komunitas Tau Taa yang bermukim di wilayah “Vananga”
(pesisir), mereka tetap mewarisi kearifan lokal pengelolaan sumbersumber
agraria. Sama dengan yang dipunyai oleh kerabat dekat mereka Tau Taa Wana, yang
bermukim di wilayah dataran tinggi.
Sejak tahun 1950-an, keluarga Pak Nasrun dan Pak
Amhar sudah mengelola tanah di dataran Toili, khususnya di Lipu Singkoyo.
Namun, sejak masuknya ekspansi perkebunan Sawit di wilayah itu, seluruh tanah
tenurial menjadi hilang. Karena perlahan-lahan diambil alih oleh Hak Guna Usaha
sebuah perusahaan perkebunan skala besar di daerah ini.
Bahkan, kini, Pak Nasrun dan Pak Amhar sedang
melakukan gugatan kepada pihak perusahaan perkebunan itu. Karena tanah tenurial
mereka diambil paksa oleh pihak perusahaan perkebunan. Padahal, tanah tenurial mereka bukan bahagian
dari arela HGU. Namun, pihak perusahaan dengan kuasa modalnya mengklaim secara
sepihak kalau tanahtanah itu masih bahagian areal HGU-nya.
Perasaan pilu juga dirasakan oleh masyarakat
yang dulu dikenal dengan “komunitas adat Matindok”. Dengan
adanya proyek LNG di dataran Batui hingga Toili, tanah-tanah tenurial komunitas
Matindok terancama hilang.
Karena adanya pengembangan kilang dan jaringan
pipa Gas untuk Blok Matindok. Yang kini digarap oleh konsorsium DS-LNG,
beranggotakan Mitsubishi Corp, PERTAMINA dan MEDCO.Terkadang, pembangunan yang
mengatasnamakan investasi, PAD ataupun devisa, kerapkali mengerdilkan hak-hak properti
masyarakat setempat. Menanggapi apa-apa yang dirasakan oleh komunitas adat
tadi, Raja Banggai pun berkomentar lirih. “Masyarakat adat harus
merapatkan barisan memperjuangkan hak-haknya,” ungkapnya.
Pada saat membaca Draf Raperda
“Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di Sulteng”,
Sang Raja pun spontan terkesima. Apa yang diusulkan oleh Tau Taa Wana itu
sebuah gebrakan hukum dan politik yang paling mutkahir di daerah ini.
“Kita patut mendukung upaya pengakuan atas Tau Taa Wana harus dan
harus,” katanya.
Ketika Hasyim Tala menanyakan alasannya, dia
tertegun sejenak. Dengan sikapnya yang
wibawa dan kharismatik, dia pun menutup
sabdanya, “Kalau Tau Taa Wana diakui secara hukum dan politik maka akan
memotivasi perjuangan adat lainnya.” Kini satu dorongan moral telah
datang dari cucu Raja Nurdin Daud. Yang muncul dari keinginan seorang Raja pembahari,
penjaga wibawa Keraton Banggai, yang dihormati oleh masyarakat di dua
kabupaten.*[Azmi Sirajuddin]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih atas komentarnya