Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional Klik di sini. Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional.

Cari Blog Ini

Selasa, 02 Maret 2010

Raja Banggai Dukung Tau Taa Wana


Dukungan moril muncul dari pihak Raja Banggai kepada komunitas Tau Taa Wana. Hal ini dipastikan setelah Raja Banggai saat ini (Ir.Iskandar Zaman, MM), menyatakan langsung sikapnya di hadapan aktivis Aliansi Masyarakat Adat Banggai (AMABA), Hasyim Tala. Hasyim Tala diundang Raja Banggai menghadiri Peringatan Hari Jadi Banggai yang ke-409, di Keraton Banggai belum lama ini.

Di hadapan para Basalo Sangkap, Bosano dan Bosanyo, Gunung (panggilan akrab Raja Banggai tersebut),menguraikan tentang kondisi masyarakat adat di dua wilayah kabupaten. Menurutnya, masyarakat adat saat ini semakin termarjinalkan oleh beragam kebijakan pembangunan yang ditempuh pemerintah. Terutama di Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan, dua wilayah yang berkerabat secara historis dan kultur.

Salah satu indikator ketermarjinalan itu adalah minimnya pelibatan masyarakat adat dalam setiap perencanaan pembangunan. Padahal, masyarakat adat termasuk komponen masyarakat Indonesia juga, yang keberadaannya diakui oleh konstitusi dasar Negara, UUD 1945. Karena itu menurutnya, komunitas masyarakat adat di kedua wilayah ini harus merevitalisasi perjuangannya. Khususnya untuk memperoleh pengakuan secara yuridis dan sosiologis sekaligus.

Dia menyorot semrawutnya sistem perundang-undangan kita. Contohnya, Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 secara tegas menyatakan pengakuan atas entitas masyarakat adat. Sepanjang itu masih bisa dibuktikan keberadaannya. Misalnya, masih berlakunya sistem adat setempat. Yang bisa berupa norma, hukum, kelembagaan, hingga kearifan lokal pengelolaan  sumber-sumber agraria.

Tapi, kebijakan pemerintah justru menganulir sendiri Undang-Undang yang dibuatnya. Contohnya, Gubernur Sulteng Azis Lamadjido pada tahun 1992, mengeluarkan Surat Edaran tentang Pencabutan Status Kepemilikan Tanah Swapraja di wilayah administrasi Sulawesi Tengah.

Imbasnya, seluruh tanah dan lahan tenurial (kepemilikan adat dan komunalisme) dicabut haknya. Yang lebih mengherankan, seluruh pihak termasuk instansi semacam BPN dan Dinas Kehutanan, mengamini begiut saja Surat Edaran tersebut. Tanpa ada pengkajian lebih mendalam dan komprehensif.

Padahal, dari sisi hukum dan hirarki perundang-undangan di negeri ini, Surat Edaran tidak bisa menganulir satu Undang-Undang. Karena Undang-Undang lebih di atas posisinya. Belum lagi, Surat Edaran tidak masuk dalam hirarki perundang-undangan kita.

Pihak Keraton Banggai sendiri pasca keluarnya Surat Edaran tersebut kehilangan banyak tanah dan lahan tenurialnya. Padahal tanah serta lahan tenurial tersebut merupakan warisan leluhur pendiri Kerajaan Banggai.
Ada yang dibangun sendiri oleh leluhur Kerajaan. Ada pula pemberian dari masyarakat sekitar Keraton. Tanah-tanah tersebut dimiliki dan dikelola secara komunal oleh keluarga Keraton Banggai. Bahkan, pihak kolonial VOC hingga pemerintah Hindia Belanda dan Jepang, mengakui status itu.

Dampak beredarnya Surat Edaran tersebut juga dirasakan oleh entitas masyarakat adat lainnya. Seperti halnya Tau Taa yang ada di dataran Toili. Pak Nasrun dan Pak Amhar merasakan situasi yang sama. Sebagai komunitas Tau Taa yang bermukim di wilayah “Vananga” (pesisir), mereka tetap mewarisi kearifan lokal pengelolaan sumbersumber agraria. Sama dengan yang dipunyai oleh kerabat dekat mereka Tau Taa Wana, yang bermukim di wilayah dataran tinggi.

Sejak tahun 1950-an, keluarga Pak Nasrun dan Pak Amhar sudah mengelola tanah di dataran Toili, khususnya di Lipu Singkoyo. Namun, sejak masuknya ekspansi perkebunan Sawit di wilayah itu, seluruh tanah tenurial menjadi hilang. Karena perlahan-lahan diambil alih oleh Hak Guna Usaha sebuah perusahaan perkebunan skala besar di daerah ini.

Bahkan, kini, Pak Nasrun dan Pak Amhar sedang melakukan gugatan kepada pihak perusahaan perkebunan itu. Karena tanah tenurial mereka diambil paksa oleh pihak perusahaan perkebunan.  Padahal, tanah tenurial mereka bukan bahagian dari arela HGU. Namun, pihak perusahaan dengan kuasa modalnya mengklaim secara sepihak kalau tanahtanah itu masih bahagian areal HGU-nya.

Perasaan pilu juga dirasakan oleh masyarakat yang dulu dikenal dengan “komunitas adat Matindok”. Dengan adanya proyek LNG di dataran Batui hingga Toili, tanah-tanah tenurial komunitas Matindok terancama hilang.

Karena adanya pengembangan kilang dan jaringan pipa Gas untuk Blok Matindok. Yang kini digarap oleh konsorsium DS-LNG, beranggotakan Mitsubishi Corp, PERTAMINA dan MEDCO.Terkadang, pembangunan yang mengatasnamakan investasi, PAD ataupun devisa, kerapkali mengerdilkan hak-hak properti masyarakat setempat. Menanggapi apa-apa yang dirasakan oleh komunitas adat tadi, Raja Banggai pun berkomentar lirih. “Masyarakat adat harus merapatkan barisan memperjuangkan hak-haknya,” ungkapnya.

Pada saat membaca Draf Raperda “Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di Sulteng”, Sang Raja pun spontan terkesima. Apa yang diusulkan oleh Tau Taa Wana itu sebuah gebrakan hukum dan politik yang paling mutkahir di daerah ini. “Kita patut mendukung upaya pengakuan atas Tau Taa Wana harus dan harus,” katanya.

Ketika Hasyim Tala menanyakan alasannya, dia tertegun sejenak. Dengan sikapnya yang
wibawa dan kharismatik, dia pun menutup sabdanya, “Kalau Tau Taa Wana diakui secara hukum dan politik maka akan memotivasi perjuangan adat lainnya.” Kini satu dorongan moral telah datang dari cucu Raja Nurdin Daud. Yang muncul dari keinginan seorang Raja pembahari, penjaga wibawa Keraton Banggai, yang dihormati oleh masyarakat di dua kabupaten.*[Azmi Sirajuddin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimah kasih atas komentarnya



Klik MUSIK Untuk mendengarkan )