Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional Klik di sini. Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional.

Cari Blog Ini

Kamis, 12 Mei 2011

To Bajo dan Perubahan Iklim


Secara tak sengaja, saya berjumpa dengan lelaki itu, usianya 40 tahun, katanya berasal dari Tanjung Jepara, sebuah kampung nelayan di seberang Desa Jayabakti, atau sekitar 1 jam menyeberang laut dari Kota Pagimana, di Kabupaten Banggai. Karena Jayabakti sudah sangat padat, karena sudah dihuni oleh sekitar 5000 jiwa penduduk, menjadikan desa tersebut dinobatkan sebagai desa terpadat di Sulawesi. Sehingga dia sejak 5 tahun terakhir, memutuskan hijrah ke Tanjung Jepara. Desa Jayabakti, serta Tanjung Jepara dan Pulau Tembang, adalah perkampungan masyarakat etnis To Bajo di perairan Teluk Tomini. Yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Banggai.

Kami berjumpa di Pasar Ikan Asin Pagimana, tempat belanja produk khas Pagimana, seperti ikan asin, cumi kering, dan teripang. Lelaki ini yang menjelaskan kepada pembeli yang protes, termasuk kepada saya, mengapa akhir-akhir ini ikan asin dan cumi kering semakin mahal. Dia bilang, pedagang dan nelayan di Pagimana, termasuk dirinya terpaksa menaikan harga ikan. Sebab, sejak 2 tahun terakhir ini, hasil tangkapan nelayan semakin berkurang. Apalagi, seperti masyarakat To Bajo yang umumnya nelayan tradisional.

Dengan perahu kecil berdayung atau dengan mesin 5 PK, nelayan ini hanya mampu menghasilkan ikan 3 Kg sekali melaut. Padahal, dulunya, mereka masih dapat tangkapan hingga 6 Kg sekali melaut. Harga ikan per kilogram saat ini oleh tengkulak dibeli seharga Rp.15.000/Kg, dan selanjutnya pedagang ikan membeli seharga Rp.18.000/Kg, hingga dijual secara eceran dengan harga Rp.20.000/Kg. Biasanya, seorang nelayan Bajo hanya bisa memperoleh pendapatan bersih Rp.30.000/hari. Jika rata-rata rumah-tangga di komunitas Bajo terdiri dari 5 sampai 7 orang anggota keluarga. Biasanya, mereka menyewakan perahunya untuk jasa penyebarangan dari Pagimana ke Pulau Poat, Tanjung Jepara dan Pulau Tembang. Bahkan, demi perekonomian keluarga, terkadang ada yang sampai mengantarkan penumpangnya hingga ke gugusan Pulau Togean, di Kabupaten Tojo Una-Una.

Faktor Berkurangnya Ikan

Bagi mereka, saat ini, Teluk Tomini sudah tidak seberkah dulu lagi. Saat menyelam, mereka menemukan sudah banyak terumbu karang yang rusak. Karena aktifitas perikanan yang tidak lestari, seperti penggunaan bom dan pukat harimau. Ikan kualitas baik seperti Tongkol, Kerapu, Kakap, Cakalang, dan Tenggiri sudah jarang ditemukan. Saat ini, hanya ikan-ikan sejenis Deho dan Lajang yang masih bisa ditangkap. Padahal, dulunya, perairan Teluk Tomini adalah surga buat koloni ikan spesies perairan tropis.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah, menilai bahwa fenomena menurunnya tangkapan nelayan To Bajo di Teluk Tomini karena dampak perubahan iklim. Hal itu merujuk pada hasil riset dari tim riset gabungan University of British Columbia (UBC-Kanada) dan Princeton University (AS) menyebutkan, perubahan iklim bisa menurunkan potensi perikanan tangkap sebanyak 30%-70% pada kawasan lintang utara yang jauh dari katulistiwa. Sedangkan di kawasan tropis, termasuk Indonesia, penurunannya mencapai 40%.
Hasil proyek Sea Around Us ini merupakan kajian besar pertama tentang perubahan iklim yang bisa menimbulkan pergeseran besar-besaran dalam produktivitas perikanan laut. Hal ini pada gilirannya bisa menimbulkan dampak pada pasokan pangan seantero dunia. 

Tim riset yang dipimpin Profesor Daniel Pauly, Guru Besar Perikanan UBC juga menemukan, kawasan yang akan menikmati peningkatan tertinggi dalam potensi perikanan tangkap pada 2055 meliputi Norwegia, Greenland, Alaska, dan pesisir Timur Laut Rusia. Sementara kawasan yang akan mengalami pengurangan terbesar meliputi Indonesia, AS (tidak termasuk Alaska dan Hawaii), Chile, dan China.

Selain itu, karena perubahan iklim juga, menyebabkan naiknya permukaan air laut. Seperti yang disampaikan oleh Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), bahwa Sebagai dampak naiknya permukaan air laut, maka banyak pulau-pulau kecil dan daerah landai di Indonesia akan hilang. Apabila ’skenario’ itu terjadi, diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau. Hal ini tentunya akan menyebabka mundurnya garis pantai di sebagian besar wilayah Indonesia. Akibatnya, bila ditarik garis batas 12 mil laut dari garis pantai, maka sudah tentu luas wilayah Indonesia akan berkurang.

Masyarakat nelayan yang bertempat tinggal di sepanjang pantai akan semakin terdesak. Mereka bahkan kehilangan tempat tinggal serta infrastruktur pendukung yang telah terbangun. Seperti perkampungan nelayan Desa Jayabakti, Tanjung Jepara dan Pulau Tembang. Selain itu, beberapa perkampungan masyarakat nelayan lainnya di sepanjang pesisir Kecamatan Pagimana di Teluk Tomini akan terancam oleh permukaan air laut yang setiap tahunnya bertambah. Nelayan juga akan kehilangan mata pencahariannya akibat berkurangnya jumlah tangkapan ikan. Hal ini disebabkan karena tak menentunya iklim sehingga menyulitkan mereka untuk melaut. Kenaikan muka air laut juga akan merusak ekosistem hutan bakau, serta merubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir.

Harapan Nelayan To Bajo

Sebelum kami berpisah karena saya mau melanjutkan perjalanan ke Palu, dia bertanya satu hal, yang menurut saya susah untuk dijawab. “Jika dampak perubahan iklim benar akan melanda kami sebagai nelayan, apakah pemerintah akan membantu kami.” Pertanyaan sekaligus harapan yang besar kepada pemerintah agar nasib mereka sebagai nelayan diperhatikan. Saya pun bertanya satu hal kepadanya. “Apakah pemerintah daerah dan lembaga terkaitnya pernah datang dan membicarakan nasib nelayan To Bajo,” mereka bilang belum pernah.

Masyarakat To Bajo di tiga kampung tersebut yang mematok hidupnya sebagai nelayan, hanya dipandang berharga oleh elit politik dan pemerintahan ketika mendekati hajatan pemilihan umum. Karena populasi To Bajo di tiga kampung tersebut mencapai angka 6000 jiwa (Data BPS Banggai, 2008). Dengan potensi penduduk pemilih mencapai 4000 jiwa (Data KPU Banggai, 2010). Satu kantong suara potensial untuk mendulang suara bagi siapa saja. Bahkan, Dinas Perikanan dan Kelautan Banggai pun jarang menyambangi mereka.

Padahal, keberadaan To Bajo sebagai nelayan di wilayah Pagimana tidak dapat dinafikan. Karena dari merekalah setiap hari kebutuhan ikan dan nutrisi laut lainnya terpenuhi untuk masyarakat umum di Kecamatan Pagimana. Bahkan, produksi ikan asin dan cumi kering, serta taripang kering, sudah menjadi maskot Pagimana. Saat orang berpergian ke luar daerah melewati Pagimana, singgah di Pasar Pagimana menjadi menu wajib bagi pelintas jalan, untuk membeli oleh-oleh khas Pagimana, terutama ikan asinnya. Tak lengkap rasanya, jika anda pernah ke Pagimana, namun tidak merasakan lezatnya ikan asin buatan To Bajo.[Azmi Sirajuddin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimah kasih atas komentarnya



Klik MUSIK Untuk mendengarkan )