Sangat mengejutkan sekali, ternyata pejabat di lingkungan Dinas Kehutanan Banggai tidak tahu sama sekali kalau Sulawesi Tengah mendapatkan skema pembiayaan REDD.Hal ini diakui langsung oleh Kepala Dinas maupun Sekretaris Dinas Kehutanan Banggai. Yang mereka tahu tentang REDD adalah berdasarkan dari apa yang dibaca atau didengarkan dari pemberitaan media. Selebihnya, REDD bagi mereka hanyalah anak kandung dari isu perubahan iklim global.
Ketika SILO menanyakan kepada mereka tentang informasi skema REDD yang akan masuk ke Sulawesi Tengah, mereka juga bingung. Mereka pun terkejut seketika SILO menyampaikan kalau Sulawesi Tengah akan memperoleh pembiayaan REDD setelah Kalimantan Tengah dan Riau. Untuk membiayai langkah-langkah signifikan dalam memerangi faktor-faktor deforestasi dan degradasi hutan. “Kami sama sekali tidak mendapat informasi tentang proyek REDD masuk ke Sulteng,” ujar Kepala Dinas Kehutanan Banggai. SILO dengan blak-blakan menceritakan kepada mereka soal skema REDD yang masuk di Sulawesi Tengah melalui proyek UNREDD. Beserta proses-proses awal yang telah dilalui oleh proyek tersebut sejak masuk di Sulawesi Tengah tahun 2010 silam.
Sebenarnya, menurut Sekertaris Dinas Kehutanan bahwa Kabupaten Banggai layak dipertimbangkan untuk memperoleh skema pendanaan REDD. Alasannya, kawasan kritis di wilayah ini cukup fantastis. Dinas Kehutanan Banggai sendiri meyakini kalautotal lahan kritis di daerah ini sudah melebihi dari angka 127.792 Ha, seperti yang dikeluarkan oleh pihak BPDAS Palu-Poso di tahun 1999. Cukup beralasan, sebab, sejak tahun 2000 hingga kini, aktivitas pengelolaan hutan untuk berbagai pemanfaatan terus berlangsung di daerah ini. Mulai dari pembalakan besar dan berizin, sampai pembalakan sporadis, tidak berizin dan bahkan pola pembalakan destruktif. Fakta-fakat semacam ini banyak dijumpai di lapangan, seperti pengakuan Sekretaris Dinas Kehutanan. “Kami kira lahan kritis cenderung meningkat setiap tahunnya, namun kita belum pastikan faktor dominannya apa,” ujar Sekretaris Dinas.
Walaupun sejauh ini, pasca persetujuan Oslo tahun 2009 yang mendeklarasikanmoratorium pembalakan hutan alam di negara-negara pemilik hutan tropis, telah banyak upaya yang dilakukan. Termasuk, melakukan monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan terhadap pengelolaan hutan di daerah ini. Sesungguhnya, pemerintah Indonesia dari pusat sampai di daerah berkewajiban melaksanakan komitmen persetujuan tersebut. Walaupun, kenyataannya di lapangan, belum banyak langkah kongkrit yang telah diambil oleh pemerintah untuk memerangi faktor-faktor deforestasi dan degradasi hutan.
Kabupaten Banggai sendiri mempunyai luas wilayah sebesar 940.553 Ha. Berdasarkan Peta Hasil Padu Serasi Sulawesi tengah tahun 1996. Dari luasan itu, sebesar 238.150 Ha telah dikelolakan kepada beberapa pihak dengan beragam izin dan skala pemanfaatannya. Saat ini, masih beroperasi 3 izin pembalakan besar (IUPHHK), yang dimiliki oleh 3 perusahaan berbeda. Dengan total luasan konsesi mencapai 222.400 Ha. Ada pula 1 izin pengusahaan hutan industri seluas 13.400 Ha. Juga masih ada 2 kelompok pemegang izin pengelolaan kayu (IPK), dengan luas 1.300 Ha. Serta terdapat 1 izin pengelolaan kayu skala mikro (IPKHH/R) seluas 1.050 Ha.
Di luar dari kawasan yang telah dikelolakan dengan beragam perizinan tadi, pemerintah juga tetap mencanangkan kawasan seluas 329.990 Ha untuk Areal Penggunaan Lain (APL). Bagi bermacam jenis peruntukan dan kebutuhan di luas sektor kehutanan. Selain untuk pengembangan pemukiman, perkantoran dan infrastruktur, juga disiapkan bagi aktivitas sektor pertanian dan perkebunan.
Kerentanan dari konflik masa lampau
Andaipun, kelak ada pembiayaan REDD ataupun REDD Plus masuk ke daerah ini, maka implementasinya akan sukar. Banyak hal sebagai indikator yang harus dipenuhi oleh suatu wilayah dalam implementasi REDD, sulit diperoleh di daerah ini. Misalnya, kesiapan dalam penyediaan kebijakan daerahnya. Kesiapan struktural di tubuh agensi pemerintah yang terkait di sektor kehutanan. Yang meliputi pengetahuan dan pemahaman yanag memadai seputar REDD secara global. Ketersediaan staf atau pegawai yang ahli menjalankan imlementasi tersebut. Serta, yang tidak boleh ditinggalkan adalah, komitmen dan konsistensi untuk menjalankan mandat Oslo terkait moratorium penebangan. Apalagi, di tengah godaan otonomi daerah yang memberikan ruang kepada Bupati untuk mengeluarkan izin pembalakan berlevel daerah.
Namun, tentu saja, di luar dari semua yang perlu disiapkan tersebut, yang tidak boleh dilupakan ialah bercermin pada konflik pengelolaan di masa lampau. Sebab, hanya dengan merefleksikan masa silam, kita dapat memproyeksikan masa depan. Di daerah ini, bicara soal konflik ruang, maka kita akan menemukan begitu banyak catatan. Lebih dari satu dekade silam, jika kita mau jujur, konflik ruang kelola begitu mendalam di daerah ini.
Jika bisa, menyebut konflik “Bahotokong” dan “Seseba” sebagai konflik dengan skala besar satu dekade silam di daerah ini. Jika pada konflik Bahotokong di Kecamatan Bunta, masyarakat petani berhadapan dengan benteng izin HGU perkebunan kelapa milik sang pengusaha. Maka, pada konflik Seseba di Kecamatan Batui, masyarakat petani berhadapan dengan arogansi klaim tanah marga-adat milik si pengusaha. Tapi, dalam kedua konflik ruang tersebut, pemerintah “gagal hadir sebagai pihak yang netral”. Tapi, justru pemerintah dengan lugas hadir “mengkriminalisasikan masyarakat petani.”
Wajah konflik ruang yang garang dan ganas itu, kembali hadir di daerah ini tepatnya di tahun 2010. Lagi-lagi, masyarakat petani menjadi korban, yang berhadapan dengan arogansi ekspansi perkebunan sawit di dataran Toili. Bahkan, pengulangan tragedi Bahotokong dan Seseba kembali dipertontonkan oleh pemerintah. Pemerintah melalui aparat hukumnya, lebih cepat merespon laporan sang pemilik perkebunan. Sehingga, kriminalisasi dan penangkapan terhadap 24 orang petani tidak dapat dielakkan lagi. Sedangkan laporan masyarakat petani kepada aparat hukum yang disampaikan lebih dahulu, justru tidak direspon. Padahal, petani yang melapor sebelumnya adalah korban dari perampasan dan penggusuran lahan pertanian mereka yang dilakukan oleh pihak perusahaan perkebunan. Sebuah ironi hukum yang mencederai rasa kemanusiaan dan keadilan.
Konflik masa lampau itu tidak terselesaikan dengan baik hingga hari ini. Bahkan, cenderung berpotensi menjadi konflik-konflik penguasaan ruang yang baru pada masa mendatang. Bukankah secara nasional ada penentangan kuat dari asosiasi perkebunan kelapa sawit terhadap moratorium oslo? Dan penentangan itu menjalar hingga ke daerah, temasuk di Kabupaten Banggai.
Kasus lokal di Kabupaten Banggai ini, mungkin menemukan pembenarannya dari penolakan asosiasi perkebunan sawit di level nasional terhadap moratorium Oslo. Lihat saja, saat ini perkebunan sawit di Kabupaten Banggai yang dikelola oleh kelompok usaha Kurnia Luwuk Sejati sejak tahun 1990-an sudah mencapai luasan 4.244 Ha. Yang tersebar di Kecamatan Masama, Moilong dan Toili. Bahkan saat ini sudah dilengkapi dengan kehadiran pabrik pengolah CPO juga di Toili.
Sedangkan pada tahun 2008, Bupati Banggai justru mengeluarkan izin lokasi kepada 2 perusahaan perkebunan sawit yang baru. Masing-masing untuk kelompok usahaSawindo Cemerlang di Kecamatan Batui seluas 12.000 Ha. Serta bagi kelompok usaha Wira Mas Permai di Kecamatan Bualemo seluas 17.500 Ha. Penolakan masyarakat petani di sekitar lokasi yang ditunjuk sebenarnya tidak pernah berhenti. Hanya saja, pemerintah daerah yang memfasilitasi izin lokasi baru itu tidak merespon sikap kritis masyarakat.
Jaminan atas perlindungan dan keselamatan rakyat
Sejak tahun 2008, masyarakat petani di Kecamatan Bualemo dan di Kecamatan Batui, sudah menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana masuknya investasi sawit. Mereka menolak dengan kesadaran bahwa investasi perkebunan sawit itu tidak akan bermanfaat banyak bagi mereka. Mereka melihat bahwa kawasan hutan yang dibongkar oleh perusahaan untuk lokasi sawit adalah aset berharga bagi masyarakat di sekitarnya. Untuk pasokan udara bersih, resapan air, dan manfaat sosial dan lingkungan lainnya. Bahkan, hutan yang dibongkar di Batui maupun di Bualemo, sama sekali belum memperoleh izIn pelepasan dari Menteri Kehutanan.
Tapi, dengan melogiskan pembenaran lingkungan dan sosial atas pembongaran hutan itu melalui dokumen AMDAL, pemerintah daerah justru menafikan ancaman terbesar di masa mendatang. Bicara soal dampak penebangan hutan untuk keperluan apa saja, termasuk untuk konversi perkebunan, sudah dilarang di dalam persetujuan Oslo. Lebih daripada itu, konversi hutan alam untuk perkebunan sawit justru akan mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan kita. Padahal, dalam skema REDD, semua faktor-faktor langsung terhadap deforestasi dan degradasi harus “dimitagasikan” lebih dini. Belum lagi, jika kita bicara soal REDD+, yang juga sangat mengaitkan faktor tidak langsung dari deforestasi dan degradasi. Seperti konversi-konversi hutan untuk tujuan di luar kehutanan. Serta bagaimana dengan dampak ikutannya, misalnya faktor “keselamatan” atau apa yang disebut dalam dokumen Cancun-Mexico sebagai “the safeguard of Livinghood”. Atau faktor keselamatan mahluk hidup lebih diutamakan daripada motivasi bisnis dan uang terhadap hutan
Yang meliputi beragam unsur keselamatan mahluk hidup di dalam dan di sekitar hutan. Bagi kepentingan keselamatan manusia, misalnya perlindungan lahan pertaniannya untuk alasan keamanan pangan. Yang harus ditingkatkan ke level perlindungan terhadap hak-hak tenurial (komunal). Karena, perlindungan atas hak-hak tenurial akan membantu masyarakat memiliki cadangan “devisa sosial” ketika terjadi krisis ekonomi global. Kerena itu, tanah tenurial (komunal) harus diprioritaskan untuk memperoleh perlindungan selain lahan pertanian. Bukan justru dirampas dan diambil alih untuk ekspansi perkebunan besar semacam kelapa sawit.*[Azmi Sirajuddin]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih atas komentarnya