Banjir menghantam Desa Mbuvu di Banawa Selatan, Donggala, pada tanggal 14 oktober 2011. Tidak saja menelan korban jiwa 3 orang, tapi juga merusak pemukiman di 9 kampung. Lahan pertanian menjadi rusak, serta infrastruktur jalan rusak total. Sehingga wilayah tersebut terisolasi dari ibukota kabupaten selama sebulan. Pada pada tanggal 3 desember 2011, banjir dahsyat kembali menghantam Sulawesi Tengah. Kali ini di Desa Bolapapu, Kulawi, Kabupaten Sigi. Selain merenggut 1 korban jiwa, peristiwa itu meluluh lantahkan semua aspek kehidupan masyarakatnya. Kampung tidak dapat lagi dihuni, dan mengharuskan mereka direlokasi ke tempat yang baru. Ternasuk meninggalkan lahan pertanian yang subur permai.
Penyebab utama banjir karena daya dukung hutan sudah menurun. Hal tersebut terlihat dari laju deforestasi (hutan rusak dan gundul) yang mencapai 118.744 Ha per tahun (Dilolah dari data Dephut 2008). Serta meluasnya lahan kritis setiap waktu, dengan luas mencapai 625.257 Ha per tahun pada tahun 2008 (Data dari statistik Dishut Sulteng). Kecenderungan kerusakan itu mulai tampak sejak tahun 2003, dan hingga tahun 2011 diperkirakan mengalami peningkatan. Apalagi jika melihat semakin luasnya operasi pertambangan, perkebunan besar dan pembalakan hutan. Jika dikalkulasi, luas areal pertambangan saja mencapai 2.4 juta hektar, yang umumnya beroperasi di dalam kawasan hutan (Jatam Sulteng).
Di Kabupaten Morowali, jumlah izin pertambangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerahnya sekitar 200-an perizinan. Terutama untuk tambang nikel dan biji besi. Dengan demikian, seperdua dari 4.3 juta hektar luasan hutan Sulawesi Tengah sudah dikapling untuk operasi pertambangan. Selain itu, sekitar 12 perusahaan memperoleh izin HGU untuk perkebunan sawit, dengan total 124.546 Ha (Walhi Sulteng). Masih ada 10 perusahaan pembalakan yang aktif dengan izin IUPHHK, dengan total luas 992.155 Ha. Jika dihitung, total kawasan hutan di Sulawesi Tengah yang mencapai 4.3 juta Ha habis diperuntukan untuk izin-izin pertambangan, perkebunan sawit dan pembalakan.
Banjir dan tanah longsor, seringkali diawali dengan rusaknya kawasan di hulu perkampungan. Terutama, perkampungan yang wilayahnya bertepian langsung dengan kawasan hutan. Apalagi, jika topografi perbukitan dan pegunungan di mana hutan berada cukup terjal. Jika merujuk pada bentang topografi, maka separuh dari wilayah pedesaan di Sulawesi Tengah berada di titik ancaman. Di wilayah timur Sulawesi Tengah, misalnya dari ujung barat Tojo Una-Una hingga ke Kabupaten Banggai, kita dengan mudah menemukan perkampungan penduduk yang diapit oleh pegunungan terjal. Jika menuju ke sana, sepanjang jalan kita akan bertemu dengan titik-titik longsoran.
Aktifitas penebangan hutan di kawasan hulu pegunungan, dengan mudah mempercepat abrasi tanah dan merusak daerah resapan air. Itulah, mengapa perkampungan di Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala dan di Kecamatan Kulawi, Sigi, rawan terkena banjir dan longsoran. Sedikit saja gangguan pada kondisi hutan di hulu, maka banjir dan longsor siap memangsa manusia dan harta benda di dalamnya.
Seharusnya, pemerintah dari level pusat sampai ke daerah komitmen pada Inpres Nomor 10 tahun 2011 tentang moratorium penebangan hutan. Termasuk, menunda pemberian izin baru di segala sektor yang menggunakan hutan. Bahkan, kalau perlu, mengevaluasi izin-izin ektraktif yang selama ini terbukti merusak hutan. Seperti pertambangan, perkebunan sawit dan pembalakan kayu.*[Azmi Sirajuddin] |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih atas komentarnya