Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional Klik di sini. Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional.

Cari Blog Ini

Kamis, 01 November 2012

Utak-Atik Hutan Di Kabupaten Banggai

Suatu ketika, pada saat dengar pendapat antara perwakilan masyarakat Toiba dengan Dinas Kehutanan Banggai, pada medio Desember 2010, ketika membicarakan usulan Hutan Desa Toiba, terlontar satu guyonan kala itu. Kami dari YMP yang menemani masyarakat Toiba bilang “kalau hutan di Banggai bisa dijaga dengan baik mungkin pendonor REDD bisa datang ke Banggai”. Dengan bercanda pula, Sekretaris Dinas Kehutanan Banggai berkata “kalau itu mungkin pasti Desa Toiba yang untung”.     Ketika pulang ke rumah, saya teringat kembali guyonan itu. Sekilas, tidak ada hubungan antara konsep hutan desa yang diusung masyarakat Toiba dengan program pendanaan global REDD. 
Tapi rasa penasaran saya semakin besar, bagaimana nantinya jika Banggai berpeluang memperoleh pendanaan REDD. Saya pun kemudian mencoba berhitung dengan angka-angka. Walaupun di bangku sekolah dulu hal-hal yang berkaitan dengan matematis atau angka-angka yang paling saya hindari.     Di tangan saya ada makalah Dinas Kehutanan  Banggai yang berisi tentang kebijakan umum pengelolaan sektor kehutanan di daerah ini. Angka-angka yang muncul cukup fantastis, walaupun Dishut Banggai masih bertahan pada data lama tahun 1996. Berpatokan pada data Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi, bahwa luas wilayah Banggai mencakup 940.553 Ha. Jika dikurangi dengan luasan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 329.990 Ha, maka total luasan wilayah mencapai 610.867 Ha.    

Dengan perhitungan bahwa total luasan tersebut adalah kawasan hutan. Dengan proporsi; kawasan lindung mencapai 193.699 Ha, yang terdiri atas kawasan suaka dan pelestarian alam seluas 23.726 Ha, dan hutan lindung seluas 169.669 Ha. Sedangkan  kawasan budidaya mencapai 747.158 Ha, yang meliputi hutan produksi terbatas 309.113 Ha, hutan produksi tetap 55.526 Ha, dan hutan konversi sebesar 52.529 Ha.Tapi, luasan eksploitasi wilayah terhitung besar, dengan beragam bentuknya.     
Tengoklah, hinga kini masih beroperasi 3 konsesi IUPHHK dengan total luasan eksploitasi mencapai 222.400 Ha. Izin HTI dengan luasan 13.400 Ha, izin IPK dengan luasan 1.300 Ha. Adapula izin IPKHHR sebesar 1.050 Ha, serta beberapa izin untuk industri penggergajian kayu, HTR, dan HKM. Jika diakumulasikan seluruh izin eksploitasi tersebut maka luas wilayah Banggai yang sudah dieksploitasi mencapai 238.150 Ha. Ini berarti bahwa dua perempat wilayah Banggai sudah tergarap oleh berbagai macam ekploitasi sumber daya hutan.     

Lalu saya berpaling ke angka selanjutnya. Menurut Dinas Kehutanan Banggai, saat ini luasan lahan kritis sudah mencapai 127.792 Ha. Namun belum diketahui faktor penyebab lahan kritis tersebut. Apalagi, Dinas Kehutanan belum pernah melakukan pemutakhiran data kehutanannya. Saya menduga, angka lahan kritis jauh lebih luas dari apa yang tertera dalam makalah tersebut. Mengapa, sebab sejak saya berada di Luwuk sejak tahun 2008, hampir setiap hari media cetak lokal memberitakan laporan-laporan masyarakat tentang aktifitas pembalakan liar. Sudah pasti bahwa aktifitas pembalakan liar akan menyebabkan kerusakan hutan dan memicu lahan menjadi kritis. Apalagi jika tidak ada upaya perbaikan pada lahan-lahan kritis tersebut.    

Kini ingatan saya tertuju ke Kecamatan Bualemo, salah satu lokasi kerja Yayasan Merah Putih untuk LEAD Project. Di wilayah itu, sejak tahun 2008, investasi perkebunan sawit telah masuk. Dengan bendera PT Wira Mas Permai, anak perusahaan dari Kencana Group di Jakarta. Izin lokasi yang diberikan oleh Bupati Banggai seluas 17.500 Ha, dan jika dilihat di Peta Lokasi Penunjukan hampir keseluruhannya masuk di dalam kawasan hutan. Saat saya berkunjung ke Desa Toiba medio Agustus 2010, areal land clearing perusahaan sudah berada di sebelah selatan Suaka Margasatwa Pati-Pati. Dan sudah sangat dekat dengan wilayah Desa Toiba.    

Pikiran saya berkecamuk dan berandai-andai tentang masa depan SM Pati-Pati yang mencapai 3.800 Ha tersebut. Ada dua kerentanan yang membuat pikiran saya semakin galau. Pertama, masyarakat Toiba sudah mengajukan permohonan ke pemerintah agar Menteri Kehutanan berkenan melepaskan 250 Ha kawasan konservasi itu. Masyarakat beralasan bahwa mereka butuh lahan pertanian, untuk kebutuhan produksi masyarakat sebesar 250 KK yang ada di Toiba. Kedua, ekspansi perkebunan sawit lambat-laun akan merangsak juga menyentuh konservasi Pati-Pati. Perkembangan terakhir, pihak perusahaan sudah mendekati Pati-Pati. Dan berencana menggunakan lahan masyarakat di sekitar kawasan itu untuk lokasi basecamp pompanisasi. Karena mereka akan memompa air dari Sungai Pati-Pati untuk kebutuhan pembibitan benih.    

Saya khawatir nasib Pati-Pati sebagai lahan konservasi akan sama seperti SM Bangkiriang di Kecamatan Batui. Jika tidak diantisipasi segera, ekspansi manusia dengan segala aktifitasnya akan merusak kawasan konservasi.Tapi siapa yang  bisa mencegah ekspansi itu, jika Dinas Kehutanan ataupun BKSDA tidak mampu menahan laju perkebunan sawit KLS dan aktifitas masyarakat lainnya masuk sampai ke dalam Bangkiriang. Karena itu, bukan tidak mungkin perkebunan sawit WMP akan merambah Pati-Pati pula. Bahkan, meskipun ke depan hutan desa Toiba sudah diakui oleh Menteri Kehutanan, ancaman tetap akan hadir mengintai kawasan yang sudah disahkan.    

Tapi saya juga teringat kerisauan masyarakat Balean. Wilayah perkampungan itu terletak persis di pinggiran Sungai Lobu. Masuknya wilayah mereka ke dalam Rencana Kerja Lima Tahunan (RKL) PT Dahatama Adikarya, akan berdampak pada resiko bencana. Bayangan saya, pembalakan yang akan dilakukan pihak Dahatama di hulu perkampungan akan memicu longsor dan banjir ke perkampungan. Tanpa adanya pembalakan saja, jika curah hujan tinggi, Sungai Lobu meluap sampai ke pemukiman warga Balean. Saya pun teringat satu hal, satu-satunya cara untuk menyeberangi Sungai Lobu ke Balean dengan menggunakan Rakit Tali. Jika musim hujan dan banjir datang, akses ke Balean sama sekali terputus.     

Saya pun tiba-tiba berucap, untung saja PT Satya Guna Sulajaya dengan 27.000 Ha tidak jadi beroperasi di Kecamatan Pagimana. Jika itu terjadi, mereka pasti masuk sampai ke hulu Sungai Lobu dan bertemu dengan PT Dahatama. Bayangkan saja, dua perusahaan pembalakan  sama-sama mendekati aliran Sungai Lobu. Bagaimana dampaknya pada kampung-kampung yang berada di sepanjang Sungai Lobu. Termasuk di dalamnya ada Desa Balean, yang juga masuk sebagai lokasi kerja LEAD Project.     Saya pun kembali ke guyonan semula tentang peluang REDD masuk ke Banggai. Akhirnya saya pun bikin singkatan baru untuk REDD.

Untuk Kabupaten Banggai Reducing Emmision from Deforestration and Forest Degaradation (REDD) ditunda dulu, sampai ada kepastian soal kelayakannya. Karena saya pikir lebih baik jadi”Rencana Ditunda Dulu”disingkat juga jadi REDD bukan?*[Azmi Sirajuddin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimah kasih atas komentarnya



Klik MUSIK Untuk mendengarkan )