Catatan Pinggir SILO Tentang Tambang Emas Di Dataran Toili
Oleh : Azmi Sirajuddin (Reporter SILO)
Jika dulu dataran Toili dikenal sebagai lumbung padi di Kabupaten Banggai, saat ini realitas itu berubah. Sejak 2 tahun silam, kemunculan potensi emas membuat silau mata semua orang. Bukan hanya para penambang, tapi juga penduduk setempat. Kalau dulu produksi beras Banggai dapat mencapai kisaran 100.000 ton per tahun, atau tepatnya setiap tahun dapat mencapai 109.311 ton (BPS Banggai, 2009). Kini pencapaian produksi tersebut sudah diragukan banyak orang. Termasuk oleh kalangan petani sendiri di dataran Toili.
Bahkan, fenomena terganggunya siklus produksi padi di dataran Toili juga dibenarkan oleh Kepala Dinas Pertanian Sulteng, Abdullah Kawulusan. "Selain petani yang beralih profesi, para buruh tanipun juga ikut beralih profesi, hal ini menyebabkan petani kesulitan melakukan panen raya tepat waktu, hal ini juga berpengaruh terhadap produksi beras di daerah itu", kata Kepala Dinas Pertanian Sulteng, Abdullah Kawulusan, Senin (22/11/2010). "Kondisi di Kec.Tolili ini telah menyebabkan pengadaan beras di Kab.Banggai yang selama ini menjadi salah satu daerah di Sulteng sebagai pemasok beras di provinsi menjadi menurun", tambahnya, seperti yang dilansir di sejumlah media lokal Sulteng belum lama ini.
Penyebab utamanya, karena hampir semua orang kini lebih tergiur dengan kilau emas. Jika pada awalnya hanya penambang yang umumnya berasal dari luar daerah, kini bahkan penduduk setempat turut mencari emas. Di tanah-tanah pertanian Toili yang subur, kini emas menjadi primadona. Penduduk setempat tidak segan lagi menyewakan atau mengkontrakan tanah bahkan halaman rumahnya, untuk digali dan ditambang oleh para pencari emas. Satu bidang tanah biasanya disewakan kepada penambang seharga 5 juta per bulan. Karenanya, banyak pemilik tanah ataupun lahan di dataran Toili rela menyewakan tanahnya, karena tergiur biaya sewa tanah dari penambang.
Efek domino dari pertambangan emas sporadis di Toili telah menelantarkan ribuan hektar lahan pertanian. Penelusuran SILO di tiga wilayah kecamatan di dataran Toili membuktikan kecemasan tersebut. Sejak memasuki Kecamatan Moilong hingga mencapai Toili Barat di sekitar Bendungan Mentawa, tampak sawah dan kebun terlantar. Tidak tampak geliat pertanian di lahan-lahan tersebut.
Kegelisahan itu semakin membuat rasa khawatir bertambah jika menyimak sejumlah pengakuan miris masyarakat. Menurut Pak Tarno di Desa Kandang Jonga (Rusa Kencana), dalam 6 bulan terakhir produksi rata-rata gabah petani menurun. Jika sebelum munculnya emas, dalam 1 hektar sawah rata-rata menghasilkan 100 karung gabah basah. Penyebabnya, para pemilik lahan tidak dapat lagi mengolah sawah secara maksimal. Selain terganggu oleh aktivitas penambang sporadis, juga buruh tani semakin berkurang. Kini, banyak pemuda di Toili yang sebelumnya menjadi andalan sebagai tenaga kerja pertanian, memilih ganti profesi sebagai penambang.
Bahkan, Pak Wagimin salah seorang pemilik penggilingan padi di Toili Barat kini tidak punya tenaga kerja lagi. Karena semua pekerjanya yang berjumlah 10 orang telah beralih ke penambangan emas. Dengan terpaksa, dia bersama 2 anaknya yang masih belia mengerjakan semua pekerjaan di penggilingan. Mulai dari menimbang, mencatat, menjemur, sampai mengangkat gabah kering ke mesin penggilingan.
Walaupun demikian, kecenderungan penurunan produksi beras di Toili dibantah oleh beberapa pihak. Termasuk hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa FKM Untika Luwuk tentang kebutuhan pangan dan skor PPH penduduk Kab.Banggai tahun 2010. Yang menunjukan bahwa, kebutuhan konsumsi pangan rasional penduduk Kab.Banggai yang diukur berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) mencapai 73.646 Ton/Tahun setara beras. Sementara data produksi pertanian setara beras dalam tahun yang sama mencapai 109.311 Ton/Tahun.
Kecukupan pangan penduduk Kab.Banggai dilihat dari kebutuhan dan produksi pangan per tahun mengalami surplus kurang lebih 35.665 Ton/Tahun. Sementara bila dilihat dari konsep wilayah kecamatan, terdapat 6 kecamatan yang mengalami surplus pangan setara beras dengan total 71.295 Ton/Tahun dan terdapat 7 kecamatan dengan defisit pangan setara beras dengan total 36.578 Ton/Tahun. Namun demikian bila 6 kecamatan yang surplus mensuplai kepada 7 kecamatan yang defisit, Kabupaten Banggai masih tetap mengalami surplus sebesar 34.717 Ton/Tahun. Maka tidak berlebihan jika Bupati Banggai secara berturut-turut memperoleh penghargaan dari Presiden RI atas keberhasilannya mempertahankan swasembada beras di Kab.Banggai.
Data ini dipublikasikan oleh Husain, SKM.M.Kes ( Pembantu Dekan I Bidang Akademik FKM UNTIKA LUWUK), pada salah satu media cetak lokal di Luwuk menjelang akhir tahun 2010.Walaupun setelah itu mengundang sejumlah perdebatan hangat tentang hasil penelitian tersebut.
Pasar Spekulan Menggurita
Gurita pasar spekulan pun semakin mencolok. Para pembeli emas baik lokal maupun pemodal luar dianggap merusak pasar logam mulia. Bagaimana tidak, level kualitas emas tidak dipersoalkan lagi. Para pembeli, dengan gaya spekulan mematok harga sama rata untuk semua golongan biji emas. Tanpa mempersoalkan berapa kadar kemurnian emas, apakah 23K, atau 24K, dan emas putih. Yang setiap gramnya dipatok harga Rp.350.000 – Rp.370.000. Fenomena terbaru yang memicu adrenalin penambang di sana karena ditemukannya golongan emas putih.
Walaupun kini masih mengundang perdebatan di kalangan penambang sendiri, terkait kemunculan si emas putih.
Alkisah, si emas putih yang awalnya biji batu besi, tidak digubris oleh penambang. Karena cuma diangap biji kerikil biasa. Namun, seorang pembeli emas dari Makassar (nama samaran : Dg Leba) berhasil membongkar misteri itu . Tumpukan material tambang berupa biji-biji kerikil putih yang dia kumpulkan dari penambang, kemudian dibersihkan dan dipadatkan, seperti halnya biji emas. Lantas, secara iseng satu botol biji kerikil putih itu dibawa serta ke Surabaya bersama biji emas. Saat menjual biji emasnya dia juga iseng menawarkan biji kerikil putih itu kepada pembeli emas di sana. Tak disangka, pembeli emas di Surabaya menawar sebotol biji logam putih itu seharga Rp.100.000.000. Dan pembeli di Surabaya bilang kalau itu “emas putih”.
Pasar spekulan juga menggrogoti struktur harga kebutuhan harian di seluruh kios dan toko di dataran Toili. Coba tengok, harga sebungkus mie instan senilai Rp.5000/bungkus. Harga sebungkus rokok filter yang digemari banyak orang dihargai Rp.15.000/bungkus. Melambungnya harga barang harian di Toili dipicu oleh ulah penambang sendiri. Ceritanya, para penambang membuat perjanjian kredit barang harian dengan pemilik-pemilik kios setempat. Dengan model menaikan harga barang dari harga baku pasar sampai 3 kali lipat. Agar mereka mudah memperoleh bekal untuk kebutuhan di areal tambang. Pemilik kios pun tidak keberatan dengan sistem kredit itu, asalkan penambang rela membayar harga yang lebih besar dan dilunasi setiap akhir pekannya, ketika sudah menjual emasnya.
Transaksi kredit barang harian dan sembako yang melibatkan pemilik kios dan penambang kini seakan sudah terlembagakan. Dan lazim diberlakukan di hampir seluruh wilayah Toili. Sehingga, ketika orang luar datang ke Toili dan mampir ke kios, pasti akan kaget dengan harga yang luar biasa itu. Informasi ini sudah diketahui oleh pihak Disperindakop di Luwuk, namun sampai kini belum ada operasi pasar untuk menertibkan harga-harga.
Efek lainnya semakin terasa pula di sektor pemasaran. SILO menelusuri beberapa pasar di Toili dan di Luwuk, untuk mengetahui dampak penambangan emas terhadap pasar hasil pertanian. Ternyata, dugaan kecemasan semakin terbukti. Betapa tidak, harga beras semakin melejit, membuat daya beli warga semakin terjepit. Di pasar-pasar Toili, harga beras melambung rata-rata 200 sampai 400 rupiah per kilonya. Dan kenaikan tersebut berlaku bagi semua varietas beras.
Bahkan kecenderungan itu pula ditemukan di sejumlah pasar dan swalayan yang ada di Kota Luwuk. Di Pasar Simpong misalnya, beras jenis biasa sebelumnya dihargai 4000 rupiah per liter, kini naik ke level 4200 per liternya. Jenis Ciliwung yang awalnya dihargai 5200 rupiah per liter, kini di pasaran naik
ke level 5400 per liternya. Yang paling fantastis adalah kenaikan harga pada jenis Cinta Nur. Beras yang aromanya harum dan terasa legitdan lembut tersebut sebelumnya ada di kisaran 5400 per liter. Namun sejak 6 bulan terakhir ini sudah mencapai 5800 per liternya.
Ny.Farni seorang ibu rumahtangga yang suaminya tukang ojek, kami jumpai tertegun di depan pedagang beras di Pasar Simpong. Sebagai ibu rumahtangga dengan penghasilan bersih 30.000 per hari dari profesi ojek suaminya, kenaikan harga beras saat ini terasa berat. Ibu dua anak itu sudah beberapa kali menggadaikan perhiasan miliknya demi menutupi defisit keuangan. “Mau bikin apa lagi, kami terpaksa menggadai perhiasan di Pegadaian, jika tidak kami mungkin tidak bisa makan lagi”, tuturnya kepada SILO.
Alasan para pedagang di pasar menaikan harga beras karena minimnya pasokan yang masuk dari petani. Bahkan, jika sebelumnya produksi beras dari dataran Toili menyumbang 2/3 kebutuhan beras domestik di Kabupaten Banggai, kini tidak lagi. Untuk saat ini, setelah adanya gangguan produksi beras dari Toili, masyarakat dan pemerintah daerah berharap pada pasokan dari wilayah Batui, Luwuk Timur, Lamala, Bunta, Nuhon, Simpang Raya, dan Bualemo.
SILO sudah mengkonfirmasikan hal ini kepada sejumlah otoritas. Seperti BULOG Luwuk, Distan Banggai, dan Disperindakop Banggai. Namun, sejauh ini belum ada jawaban resmi dari ketiga otoritas tersebut menyangkut kelangkaan beras dari lumbung Toili. Kelihatannya, masing-masing pihak terkait masih menunggu pembahasan Ranperda Pertambangan Rakyat yang sedang diusung oleh Distamben Banggai ke legislatif.
Masa depan pertambangan emas dan kaitannya dengan lahan pertanian kini sangat tergantung pada pembahasan Ranperda Pertambangan Rakyat. Saat ini bola ada di tangan Panleg DPRD Banggai. Banyak pihak berharap, bahwa lahirnya pengaturan pertambangan rakyat akan dapat memulihkan kembali apa yang telah rusak. Akibat tambang emas sporadis di seluruh penjuru Toili.
Tapi, sayang sekali. Ternyata pembahasan Ranperda Tambang Rakyat berjalan seperti yang tidak diharapkan. Betapa tidak, Pihak DPRD Banggai secara sepihak membahas dan mengesahkan sebanyak 18 Ranperda (termasuk Ranperda Tambang Rakyat) hanya dalam rentang waktu 2 pekan saja. Yang dilakukan pada pertengahan Januari 2011. Banyak pihak, temasuk kalangan penambang, pembeli, pemilik alkon, LSM dan media massa lokal menyayangkan proses pemahasan Ranperda yang berlangsung tertutup. Bahkan, Hidayat Monoarfa, salah seorang anggota DPRD Banggai dari PKS tidak mengetahui jelas alasan DPRD yang terkesan tertutup dalam pembahasan Ranperda Tambang Rakyat. “Kami pun tidak tahu mengapa proses pembahasan Ranperda Tambang Rakyat seperti tertutup untuk publik”, ujarnya kepada SILO akhir Januari silam.
Padahal, Yayasan Merah Putih (YMP) berharap bahwa hal-hal krusial seperti luasan, pengelola, pengawasan dan pembinaan dapat diatur dengan baik dalam Perda Tambang Rakyat Banggai. Seperti yang diharapkan oleh Direktur Operasional YMP, Amran Tambaru kepada pihak Panleg DPRD Banggai.*(Azmi Sirajuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih atas komentarnya