Azmi Sirajuddin
Selama ini,
orang Lindu merasa terisolasi. Terisolasi dari akses jalan penghubung, hingga
akses komunikasi. Bagi yang pernah berpergian ke Kecamatan Lindu di Kabupaten
Sigi, pasti akan menemukan situasi ini. Satu-satunya jalan penghubung yang mudah
diakses melalui Sadaunta di Kecamatan Kulawi. Jalan setapak peninggalan masa
lampau, selebar 1,5 meter, sepanjang 12 Km. Hanya dapat dilalui dengan
berjalan kaki maupun kenderaan roda dua. Dulu kala, sebelum kenderaan roda dua
hadir, jasa angkutan kuda yang paling berperan. Ada pula jalan penghubung lain
melalui Kecamatan Palolo, tapi kondisinya lebih memprihatinkan.
Pada saat wilayah lainnya di Sulawesi Tengah
dapat dengan mudah dijangkau oleh jalur komunikasi, wilayah Lindu justru tidak
memiliki akses komunikasi. Satu-satunya akses komunikasi yang tersedia adalah
saluran radio komunikasi SSB. Dengan gelombang frekuensi yang seringkali susah
didengar di Kota Palu. Beruntung bahwa, ketika gempa bumi tanggal 18 Agustus
2012 yang menghantam Lindu, petugas di Kantor Kecamatan sempat menginformasikan
kejadian tersebut ke Palu. Meskipun frekuensinya terputus-putus.
Peristiwa gempa bumi dengan skala 6,4 SR
tersebut akhirnya terkabarkan secara luas ke publik. Serta merta, dampak
kerusakan yang ditimbulkan gempa itu kemudian diketahui oleh berbagai media
massa. Mobilisasi bantuan untuk tanggap darurat pun akhirnya dapat terlaksana
dengan alat komunikasi dan akses jalan penghubung yang sangat terbatas. Drama
mobilisasi bantuan itu berujung dengan pernyataan resmi Gubernur Sulteng dan
Bupati Sigi, agar jalan harus diperlebar dan dibangun menuju Lindu untuk armada
kenderaan roda empat dapat bergerak mengangkut bantuan (Harian Mercusuar, 8
September 2012).
Pro dan kontra mulai berkembang seiring
rencana pembangunan jalan penghubung. Tapi, jalan penghubung yang semula jalan
setapak itu perlahan mulai dikerjakan oleh Dinas Pekerjaan Umum. Dengan adanya
dukungan dari Menteri Kehutanan dan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu.
Rencananya, jalan dari Sadaunta menuju Lindu tetap sepanjang 12 Km, mengikuti
alur jalan setapak. Hingga saat ini, total pekerjaan jalan telah mencapai 4 Km.
Lebar jalan 4 meter dari kiri ke kanan. Dengan mengorbankan tanaman kakao
masyarakat Sadaunta, dan juga tanaman kopi masyarakat Lindu di sisi jalan.
Pembangunan Tanpa Konsensus
Seruan Gubernur untuk membuka jalan yang lebih
mudah diakses, disetujui oleh hampir seluruh elemen masyarakat Lindu tanpa
koreksi. Suasana berkabung dan prihatin pasca bencana yang masih dirasakan
warga, menyebabkan mereka sepakat begitu saja. Kecuali satu elemen, yaitu
Majelis Adat Lindu di level desa hingga kecamatan. Lembaga ini merasa rencana
pembangunan jalan diputuskan secara sepihak oleh pemerintah.
Dalam pertemuan tanggal 24 September di Kota
Palu, Majelis Adat Lindu dan sesepuh masyarakat Lindu yang tinggal di Palu,
memberikan syarat-syarat yang mesti dipatuhi oleh seluruh pihak. Syarat ini
merupakan kondisi yang mesti dijalankan jika dampak negatif dari pembukaan
jalan ingin dihindari. Apalagi, jalan baru dibangun tanpa ada proses konsensus
di tengah masyarakat. Mengingat, dampak negatif dari pembangunan jalan tersebut
sangatlah besar. Salah satu dampak yang paling dihindari orang Lindu, adalah
semakin intensifnya mobilisasi orang luar dan modal ke Lindu. Termasuk pula,
mungkin pencurian kayu (Kompas, 28 September 2012).
Syarat pertama yang diajukan Majelis Adat
Lindu, jalan hanya untuk angkutan orang sakit dan orang meninggal dunia. Kedua,
arus kenderaan roda empat tidak boleh menggunakan dua arah, karena sebelahnya untuk
roda dua. Ini untuk menghindari agar tidak terjadi arus massal kenderaan roda
empat ke Lindu. Ketiga, pengaturan lalu lintas Sadaunta ke Lindu dan sebaliknya
akan diatur dengan sistem buka-tutup dan pada waktu-waktu tertentu. Keempat,
untuk memperketat arus manusia dan barang dari dan ke Lindu, akan dibuat pos
portal atau penjagaan setiap satu kilometer. Kelima, akan dilakukan pembagian
peran antara orang Lindu dengan Sadaunta, untuk mengawasi dampak pembukaan
jalan.
Namun, syarat yang diajukan tersebut dipandang
tidak cukup. Sebab, harus didukung pula oleh satu pendekatan kebijakan daerah
di level kabupaten, mungkin juga provinsi. Oleh sebab itu, Majelis Adat Lindu
akan mengajukan proposal perlindungan wilayah adat dan kelola orang Lindu
kepada Bupati Sigi. Nantinya, proposal tersebut akan disertakan dengan kumpulan
peraturan adat Lindu yang sudah disepakati dan diputuskan oleh Majelis Adat.
Juga, untuk kepentingan referensi wilayah, akan dilampirkan peta wilayah adat
dan kelola Lindu hasil pemetaan partisipatif. Pemetaan itu sendiri dilakukan
dari tahun 1995 – 1996, dengan fasilitasi sebuah lembaga swadaya masyarakat,
Yayasan Tanah Merdeka (YTM).
Bentuk perlindungan wilayah Lindu dapat berupa
SK Bupati, Peraturan Bupati, maupun Peraturan Daerah. Jika kebijakan
perlindungan ini sudah diperoleh, diharapkan akan melindungi tanah-tanah
masyarakat setempat dari pengambil alihan pihak luar. Juga, untuk membentengi
masyarakat Lindu dari praktek perekonomian yang merugikan. Seperti ijon dan
rentenir, maupun jual beli hasil bumi dengan harga rendah. Serta, untuk
melindungi nilai dan adat istiadat Lindu dari pencemaran karena interaksi
dengan pihak luar.
Secara internal, orang Lindu harus pula
membangun konsensus di antara mereka sendiri. Hal ini penting, untuk menjaga
komitmen dan konsistensi anggota komunitas dalam menjaga apa yang telah
disepakati bersama sebelumnya sebagai suatu komunitas Lindu. Konsensus ini
juga, bermakna penyatuan sikap politik orang Lindu terhadap dampak pembukaan
jalan penghubung, maupun terhadap masalah-masalah lainnya yang tengah dihadapi.
Politik Pengisolasian
Pengisolasian terhadap orang Lindu sudah sejak
lama, dengan beragam bentuknya. Mulai dari praktek ekonomi yang memarjinalkan
sumber daya, hingga pengucilan wilayah di tengah kebijakan konservasi bernama
Taman Nasional Lore Lindu. Praktek ekonomi yang memarjinalkan seperti rentenir
yang meminjamkan modal kerja, biaya pendidikan dan biaya membangun rumah. Untuk
kepentingan semacam itu, sebahagian orang Lindu rela meminjam dari pihak luar.
Dengan alasan mudah diperoleh, walaupun dengan pengembalian bunga tinggi.
Selain itu, jual beli komoditas semacam kopi,
kakao dan ikan mujair, lebih menguntungkan pembeli yang umumnya berasal dari
luar. Dengan sistem membeli di bawah harga, pedagang tengkulak hilir mudik ke
Lindu, menyewa ojek, dan menampung hasil pembelian di Sadaunta sebelum diangkut
menuju Palu. Bagi sebahagian orang Lindu, menjual di bawah harga adalah suatu
keterpaksaan. Sebab, mereka tidak mampu menjualnya ke luar. Karena biaya angkutan
dengan ojek sepeda motor sangat mahal. Sebelum gempa bumi tanggal 18 Agustus,
biaya ojek Sadaunta ke Lindu atau sebaliknya, mencapai 50 ribu hingga 80 ribu
sekali jalan. Pasca gema bumi, biaya ojek melambung tinggi hingga 150 ribu
sekali jalan.
Praktek ekonomi yang tidak sehat dan
memarjinalkan orang Lindu, diketahui oleh banyak pihak. Termasuk oleh
pemerintah daerah, baik di level kabupaten (dulu Donggala, sekarang Sigi) maupu
level provinsi di Palu. Tapi, tidak pernah ada upaya dari pemerintah untuk
membantu orang Lindu keluar dari lingkaran ekonomi yang merugikan itu. Seperti
terkesan dibiarkan dan hanya ditonton saja, tanpa ada upaya kongkrit.
Pengisolasian dalam
bentuk lain, pembatasan akses sumber daya hutan karena kebijakan konservasi.
Melalui pembangunan Taman Nasional Lore Lindu pada tahun 1993 oleh Kementrian
Kehutanan. Secara
hukum, Taman Nasional Lore Lindu dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan dan
Perkebunan melalui Keputusan No. 464/Kpts-Il/1999 tanggal 23 Juni 1999
dengan luas kawasan 217.991,18 ha. Sedangkan untuk pengelolaanya,
berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007, sejak
Tanggal I Februari 2007, diserahkan kepada Balai Besar Taman Nasional Lore
Lindu.
Kehadiran kawasan konservasi dipandang salah
satu problem mendasar dalam relasi agraria. Di mana orang Lindu hanya dipandang
sebagai objek, bersama dengan kekayaan di dalam hutan. Bahkan, mereka
diwajibkan menjaga dan melestarikan hutan sepanjang masa. Namun, hak-hak mereka
tidak pernah disahuti, bahkan cenderung dipinggirkan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan hutan. Beberapa kali masyarakat ditangkap oleh petugas kehutanan
dengan tuduhan mencuri kayu. Kebijakan konservasi menghadirkan pembatasan akses
sumber daya alam, dan juga penindasan baru.
Pengisolasian lainnya, dalam bentuk Festival
Danau Lindu. Mulai dilaksanakan sejak tahun 2009, oleh Dinas Pariwisata
Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan bermacam aktivitas untuk tujuan promosi wisata
Danau Lindu. Namun, festival itu seakan menjadi milik Dinas Pariwisata. Mulai perencanaan
hingga pelaksanaan kegiatan dan hasil-hasilnya, tidak melibatkan orang Lindu.
Orang Lindu hanya menjadi penonton dari festival yang dilaksanakan di kampung
mereka sendiri. Orang Lindu semakin terasing dengan festival Danau Lindu yang
dilakukan setiap tahun. Mereka tidak tahu untuk apa festival itu, dan di
kemanakan saja hasilnya.
Dengan pembangunan jalan baru, menjadikan
tantangan baru bagi Orang Lindu. Apakah mereka akan lebih baik nasibnya dan
menjadi tuan di tanahnya sendiri. Ataukah, kembali menjadi terasing dan
terpinggirkan dari hiruk-pikuk akibat jalan baru yang semakin lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih atas komentarnya