Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional Klik di sini. Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional.

Cari Blog Ini

Jumat, 02 November 2012

Membongkar Politik Pengisolasian Terhadap Orang Lindu

Azmi Sirajuddin
         Selama ini, orang Lindu merasa terisolasi. Terisolasi dari akses jalan penghubung, hingga akses komunikasi. Bagi yang pernah berpergian ke Kecamatan Lindu di Kabupaten Sigi, pasti akan menemukan situasi ini. Satu-satunya jalan penghubung yang mudah diakses melalui Sadaunta di Kecamatan Kulawi. Jalan setapak peninggalan masa lampau, selebar 1,5 meter, sepanjang 12 Km.  Hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki maupun kenderaan roda dua. Dulu kala, sebelum kenderaan roda dua hadir, jasa angkutan kuda yang paling berperan. Ada pula jalan penghubung lain melalui Kecamatan Palolo, tapi kondisinya lebih memprihatinkan.
Pada saat wilayah lainnya di Sulawesi Tengah dapat dengan mudah dijangkau oleh jalur komunikasi, wilayah Lindu justru tidak memiliki akses komunikasi. Satu-satunya akses komunikasi yang tersedia adalah saluran radio komunikasi SSB. Dengan gelombang frekuensi yang seringkali susah didengar di Kota Palu. Beruntung bahwa, ketika gempa bumi tanggal 18 Agustus 2012 yang menghantam Lindu, petugas di Kantor Kecamatan sempat menginformasikan kejadian tersebut ke Palu. Meskipun frekuensinya terputus-putus.
Peristiwa gempa bumi dengan skala 6,4 SR tersebut akhirnya terkabarkan secara luas ke publik. Serta merta, dampak kerusakan yang ditimbulkan gempa itu kemudian diketahui oleh berbagai media massa. Mobilisasi bantuan untuk tanggap darurat pun akhirnya dapat terlaksana dengan alat komunikasi dan akses jalan penghubung yang sangat terbatas. Drama mobilisasi bantuan itu berujung dengan pernyataan resmi Gubernur Sulteng dan Bupati Sigi, agar jalan harus diperlebar dan dibangun menuju Lindu untuk armada kenderaan roda empat dapat bergerak mengangkut bantuan (Harian Mercusuar, 8 September 2012).
Pro dan kontra mulai berkembang seiring rencana pembangunan jalan penghubung. Tapi, jalan penghubung yang semula jalan setapak itu perlahan mulai dikerjakan oleh Dinas Pekerjaan Umum. Dengan adanya dukungan dari Menteri Kehutanan dan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu. Rencananya, jalan dari Sadaunta menuju Lindu tetap sepanjang 12 Km, mengikuti alur jalan setapak. Hingga saat ini, total pekerjaan jalan telah mencapai 4 Km. Lebar jalan 4 meter dari kiri ke kanan. Dengan mengorbankan tanaman kakao masyarakat Sadaunta, dan juga  tanaman kopi masyarakat Lindu di sisi jalan.
Pembangunan Tanpa Konsensus
Seruan Gubernur untuk membuka jalan yang lebih mudah diakses, disetujui oleh hampir seluruh elemen masyarakat Lindu tanpa koreksi. Suasana berkabung dan prihatin pasca bencana yang masih dirasakan warga, menyebabkan mereka sepakat begitu saja. Kecuali satu elemen, yaitu Majelis Adat Lindu di level desa hingga kecamatan. Lembaga ini merasa rencana pembangunan jalan diputuskan secara sepihak oleh pemerintah.
Dalam pertemuan tanggal 24 September di Kota Palu, Majelis Adat Lindu dan sesepuh masyarakat Lindu yang tinggal di Palu, memberikan syarat-syarat yang mesti dipatuhi oleh seluruh pihak. Syarat ini merupakan kondisi yang mesti dijalankan jika dampak negatif dari pembukaan jalan ingin dihindari. Apalagi, jalan baru dibangun tanpa ada proses konsensus di tengah masyarakat. Mengingat, dampak negatif dari pembangunan jalan tersebut sangatlah besar. Salah satu dampak yang paling dihindari orang Lindu, adalah semakin intensifnya mobilisasi orang luar dan modal ke Lindu. Termasuk pula, mungkin pencurian kayu (Kompas, 28 September 2012).
Syarat pertama yang diajukan Majelis Adat Lindu, jalan hanya untuk angkutan orang sakit dan orang meninggal dunia. Kedua, arus kenderaan roda empat tidak boleh menggunakan dua arah, karena sebelahnya untuk roda dua. Ini untuk menghindari agar tidak terjadi arus massal kenderaan roda empat ke Lindu. Ketiga, pengaturan lalu lintas Sadaunta ke Lindu dan sebaliknya akan diatur dengan sistem buka-tutup dan pada waktu-waktu tertentu. Keempat, untuk memperketat arus manusia dan barang dari dan ke Lindu, akan dibuat pos portal atau penjagaan setiap satu kilometer. Kelima, akan dilakukan pembagian peran antara orang Lindu dengan Sadaunta, untuk mengawasi dampak pembukaan jalan.
Namun, syarat yang diajukan tersebut dipandang tidak cukup. Sebab, harus didukung pula oleh satu pendekatan kebijakan daerah di level kabupaten, mungkin juga provinsi. Oleh sebab itu, Majelis Adat Lindu akan mengajukan proposal perlindungan wilayah adat dan kelola orang Lindu kepada Bupati Sigi. Nantinya, proposal tersebut akan disertakan dengan kumpulan peraturan adat Lindu yang sudah disepakati dan diputuskan oleh Majelis Adat. Juga, untuk kepentingan referensi wilayah, akan dilampirkan peta wilayah adat dan kelola Lindu hasil pemetaan partisipatif. Pemetaan itu sendiri dilakukan dari tahun 1995 – 1996, dengan fasilitasi sebuah lembaga swadaya masyarakat, Yayasan Tanah Merdeka (YTM).
Bentuk perlindungan wilayah Lindu dapat berupa SK Bupati, Peraturan Bupati, maupun Peraturan Daerah. Jika kebijakan perlindungan ini sudah diperoleh, diharapkan akan melindungi tanah-tanah masyarakat setempat dari pengambil alihan pihak luar. Juga, untuk membentengi masyarakat Lindu dari praktek perekonomian yang merugikan. Seperti ijon dan rentenir, maupun jual beli hasil bumi dengan harga rendah. Serta, untuk melindungi nilai dan adat istiadat Lindu dari pencemaran karena interaksi dengan pihak luar.
Secara internal, orang Lindu harus pula membangun konsensus di antara mereka sendiri. Hal ini penting, untuk menjaga komitmen dan konsistensi anggota komunitas dalam menjaga apa yang telah disepakati bersama sebelumnya sebagai suatu komunitas Lindu. Konsensus ini juga, bermakna penyatuan sikap politik orang Lindu terhadap dampak pembukaan jalan penghubung, maupun terhadap masalah-masalah lainnya yang tengah dihadapi.
Politik Pengisolasian
Pengisolasian terhadap orang Lindu sudah sejak lama, dengan beragam bentuknya. Mulai dari praktek ekonomi yang memarjinalkan sumber daya, hingga pengucilan wilayah di tengah kebijakan konservasi bernama Taman Nasional Lore Lindu. Praktek ekonomi yang memarjinalkan seperti rentenir yang meminjamkan modal kerja, biaya pendidikan dan biaya membangun rumah. Untuk kepentingan semacam itu, sebahagian orang Lindu rela meminjam dari pihak luar. Dengan alasan mudah diperoleh, walaupun dengan pengembalian  bunga tinggi.
Selain itu, jual beli komoditas semacam kopi, kakao dan ikan mujair, lebih menguntungkan pembeli yang umumnya berasal dari luar. Dengan sistem membeli di bawah harga, pedagang tengkulak hilir mudik ke Lindu, menyewa ojek, dan menampung hasil pembelian di Sadaunta sebelum diangkut menuju Palu. Bagi sebahagian orang Lindu, menjual di bawah harga adalah suatu keterpaksaan. Sebab, mereka tidak mampu menjualnya ke luar. Karena biaya angkutan dengan ojek sepeda motor sangat mahal. Sebelum gempa bumi tanggal 18 Agustus, biaya ojek Sadaunta ke Lindu atau sebaliknya, mencapai 50 ribu hingga 80 ribu sekali jalan. Pasca gema bumi, biaya ojek melambung tinggi hingga 150 ribu sekali jalan.
Praktek ekonomi yang tidak sehat dan memarjinalkan orang Lindu, diketahui oleh banyak pihak. Termasuk oleh pemerintah daerah, baik di level kabupaten (dulu Donggala, sekarang Sigi) maupu level provinsi di Palu. Tapi, tidak pernah ada upaya dari pemerintah untuk membantu orang Lindu keluar dari lingkaran ekonomi yang merugikan itu. Seperti terkesan dibiarkan dan hanya ditonton saja, tanpa ada upaya kongkrit.
Pengisolasian dalam bentuk lain, pembatasan akses sumber daya hutan karena kebijakan konservasi. Melalui pembangunan Taman Nasional Lore Lindu pada tahun 1993 oleh Kementrian Kehutanan. Secara hukum, Taman Nasional Lore Lindu dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Keputusan No.  464/Kpts-Il/1999 tanggal 23 Juni 1999 dengan luas kawasan  217.991,18 ha. Sedangkan untuk pengelolaanya, berdasarkan  Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007, sejak Tanggal I Februari 2007, diserahkan kepada Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu.
Kehadiran kawasan konservasi dipandang salah satu problem mendasar dalam relasi agraria. Di mana orang Lindu hanya dipandang sebagai objek, bersama dengan kekayaan di dalam hutan. Bahkan, mereka diwajibkan menjaga dan melestarikan hutan sepanjang masa. Namun, hak-hak mereka tidak pernah disahuti, bahkan cenderung dipinggirkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Beberapa kali masyarakat ditangkap oleh petugas kehutanan dengan tuduhan mencuri kayu. Kebijakan konservasi menghadirkan pembatasan akses sumber daya alam, dan juga penindasan baru.
Pengisolasian lainnya, dalam bentuk Festival Danau Lindu. Mulai dilaksanakan sejak tahun 2009, oleh Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan bermacam aktivitas untuk tujuan promosi wisata Danau Lindu. Namun, festival itu seakan menjadi milik Dinas Pariwisata. Mulai perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan dan hasil-hasilnya, tidak melibatkan orang Lindu. Orang Lindu hanya menjadi penonton dari festival yang dilaksanakan di kampung mereka sendiri. Orang Lindu semakin terasing dengan festival Danau Lindu yang dilakukan setiap tahun. Mereka tidak tahu untuk apa festival itu, dan di kemanakan saja hasilnya.
Dengan pembangunan jalan baru, menjadikan tantangan baru bagi Orang Lindu. Apakah mereka akan lebih baik nasibnya dan menjadi tuan di tanahnya sendiri. Ataukah, kembali menjadi terasing dan terpinggirkan dari hiruk-pikuk akibat jalan baru yang semakin lebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimah kasih atas komentarnya



Klik MUSIK Untuk mendengarkan )