Oleh: Azmi Sirajuddin
Sesaat setelah tiba di Bandara Selaparang, Mataram, di Pulau Lombok, saya terkesima dengan suasana di sekitarnya. Walaupun hari sudah malam, tapi temaram lampu peron di sisi jalan membantu penglihatan. Dahsyat, sejauh mata memandang, pada setiap sisi jalan raya tumbuh pohon kelapa. Supir taksi yang membawa kami menuju Puri Saron di Sengigi menjelaskan, kalau sepanjang satu kilometer jalan raya menuju bandara sengaja di tanami pohon kelapa.
Di setiap sisi jalan, agar memberikan kesan teduh dan segar, sekaligus penanda identitas lokal Lombok. Ya, pohon kelapa adalah identitas sosial sekaligus kultur bagi masyarakat Sasak.
Kami tiba di Puri Saron, di kawasan Senggigi. Pada jam dinding yang berdetak di ruang tunggu hotel, menyampaikan pesan jika waktu telah 21:17. Saya harus bergegas ke kamar, beristirahat dan tidur yang cukup. Karena besok, pada tanggal 9 hingga 10 Juli 2011, saya akan memulai pertemuan nasional tentang FPIC. Yang diikuti oleh seluruh mitra PUSAKA dan FPP dari seluruh Indonesia.
Dalam pengantar diskusi, di awal pertemuan, Angky dari PUSAKA, menyatakan bahwa Free, Prior and Informed Consent (FPIC) merupakan hal wajib diberlakukan. Kepada masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan. Agar, masyarakat tersebut dapat memposisikan hak-hak dasarnya untuk mengatakan setuju atau tidak terhadap sebuah proyek. Seluruh proyek serta kebijakan, yang akan berdampak langsung terhadap tanah, wilayah, sumberdaya serta kehidupan mereka. Tidak terkecuali, proyek yang berlabel REDD maupun REDD+.
Kawan saya dari Nangroe Aceh Darussalam, Pak Sanusi, memperkuat kehendak itu. Menurutnya, seluruh pelaksana proyek (Developer) berbasis REDD/REDD+ seringkali alpa menlaksanakan kewajibannya. Termasuk, jika berkaca dari pengembangan proyek REDD di kawasan Ulu Masen, Aceh. Para pengemban proyek, yang didanai oleh Amerika Serikat dan Kanada, sama sekali tidak pernah melakukan sosialisasi ataupun konsultasi kepada masyarakat adat / lokal, untuk meminta pendapat mereka terkait jalannya proyek REDD. Padahal, proyek itu juga disokong dana yang besar oleh pihak East Asia Mineral, sebuah perusahaan pertambangan, dengan sokongan dana mencapai 50 Juta Dolar AS.
Para pemimpin (Kecik) gampong maupun mukim, tidak pernah diajak berbicara oleh pihak proyek. Kecik Misbahudin misalnya, sebagai seorang pemimpin mukim di salah satu wilayah di Aceh Jaya, menyampaikan kalau dirinya tidak pernah dijumpai oleh pengemban proyek. Padahal, dirinya telah memperoleh mandat, dari warga setingkat gampong dan mukimnya, untuk menyampaikan posisi dan sikap mereka terkait proyek REDD.
Salah satu titik krusial proyek REDD dan proyek perdagangan karbon di seluruh wilayah Aceh, ialah pengembangan proyek menegasikan hak-hak dasar masyarakat adat / lokal yang berada di sekitar proyek, ujar Pak Sanusi. Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh (Otsus Aceh), yang memberikan ruang partisipasi dan pengambilan keputusan yang besar bagi masyarakat, oleh pengemban proyek cuma dipandang sebagai dokumen belaka, tanpa harus dipatuhi. Termasuk, Qanun Aceh (Peraturan Daerah di Propinsi), yang memperkuat posisi UU Otsus Aceh sebelumnya, tidak berdaya di depan pemodal dan pengemban proyek.
Kawan saya Rini dari Kampar, Riau, menggambarkan situasi khusus perempuan di sana. Menurutnya, kaum perempuan terutama di kawasan lahan gambut di Kampar, merupakan pihak yang terdampak langsung dari beragam investasi serta kepentingan atas lahan dan hutan di kawasan tersebut. Perempuan Melayu, dengan ciri sebagai pekerja di ladang dan kebun, membantu suami untuk perekonomian keluarga. Namun, beragam konflik tenurial masa silam, serta tumpang-tindihnya bermacam izin di hutan dan lahan gambut, semakin mengebiri hak-hak dan posisi kaum perempuan. Tanaman sayur dan buah-buahan perempuan, dilindas oleh kepentingan investasi pihak APP, dengan skema hutan karbonnya.
Serta izin HTI dari RAPP, dan juga proyek karbon gambut milik Pangeran Charles dari United Kingdom. Perempuan tidak pernah diajak berdiskusi, dan tidak pernah diajak untuk merencanakan jalan keluar terbaik bagi posisi dan peran mereka. Ahmad Rizalie, yang biasa kami panggil Jali, menyampaikan gambaran lain, tapi semakin menambah panas hati kami hari itu.
Jali bilang bahwa para pemimpin adat dan lokal di Kampar khususnya, serta Riau pada umumnya, telah tereliminasi posisi dan perannya. Karena, rata-rata pemimpin informal tersebut juga telah direkrut menjadi pemimpin formal. Setingkat Ketua RT, Kepala Kampung, dan Kepala Desa. Contohnya, surat-surat protes yang diajukan oleh masyarakat kepada pihak HTI, di mana terdapat tandatangan Kepala Desa, akhirnya dianulir kembali oleh Kepala Desa yang bersangkutan. Pengakuan para Kepala Desa di depan pihak HTI, kalau tandatangan mereka dipalsukan oleh masyarakat. “Benar-benar penjilat dan penjahat Kepala Desa itu,” ujar Alin yang duduk di sampingku. Karena pagi semakin beranjak ke siang, Emil Kleden sang fasilitator, meminta kami mendinginkan pikiran dan hati yang semakin panas.
Dengan rehat sebentar, sambil minum kopi atau teh di kafe hotel, yang tepat berada di bibir Senggigi. Saat rehat, kawan dari Papua, Yulianus sang Kepala Suku Korue, mendatangiku. Katanya, pengalaman dari Riau tadi membuat posisinya tidak nyaman. Bagaimanapun, cerita tentang pemimpin adat dan lokal yang bermetamorfosa menjadi pemimpin formal pemerintahan, sangat disesalinya. “Abang, kita orang di Waropen tidak mau terjadi macam itu orang Riau,” sapanya, kepadaku, sambil membawa sepiring kue lapis khas Lombok. Saya tidak menjawab, cuma tersenyum, sambil mempersilahkan dia duduk di sampingku.
Ketika kembali ke ruang pertemuan, Emil bilang kepada seluruh peserta, kalau sesekali kita harus merapat ke bibir Senggigi. Saya terprovokasi ucapannya, sesaat saya menoleh ke tepian pantai, kulihat sebatang nyiur melambaikan daunnya kepadaku. Yah, sepoi angin dan lambai nyiur, sejenak membuat rasa ke-Indonesiaanku membuncah dan rasa bangga di dalam hati. Emil menunjukan sebatang lilin kepada kami semua. Lalu membakar sumbunya, dan lilin itu menyala.
Tapi karena saat ini sedang terang, maka nyala lilin tidak berarti. Namun, saat malam dan gelap, dan di saat sering padam listrik, maka sebatang lilin sangat berarti. Walaupun bernyala kecil, tapi ia adalah satu-satunya harapan yang dapat menerangi kita. “Jangan pernah berhenti berharap, setidaknya kita masih punya nyala lilin dalam kalbu kita,” ungkap Emil.
Kawan Papua ayo, Emil menyemangati kawan-kawan dari Papua. Secara bergantian, Pak Yulianus dan Pietsaw membagi pengalaman soal Papua kepada kami. Yulianus memulai, katanya, saat ini Yapen, Waroepen, Membramo dan Merauke, adalah wilayah pembangunan di tanah Papua. Merauke dengan mega-proyek integrasi pangan dan energi (MIFEE), yang membutuhkan 1 juta hektar lahan. Membramo dengan proyek ekosistem DAS. Yapen dan Waroepen yang sudah terpisah secara administratif, sedang direncanakan untuk proyek REDD, mungkin juga karbon.
Tapi, masalahnya, adalah diabaikannya hak keputusan masyarakat. Ruang otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat, tidak berlaku efektif di lapangan. Otonomi khusus, cenderung menjadi elitis. Serta ruang berbagi duit dan transaksi multi kepentingan, oleh elit daerah dan elit nasional. Kehadiran lembaga semacam Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Adat Papua (DAP), untuk mendukung pemberlakuan kebijakan Otsus Papua, ternyata sama mandulnya. “Ibaratnya, tubuh diberikan ke Papua tapi ekornya masih dipegang Jakarta,” Yulianus menegaskan dilema tersebut. Sebagai Kepala Suku Korue, Pak Yulanius berulang kali berdebat dengan pemerintah daerah, dan para pemegang izin konsesi hutan dan tambang. Tapi, terutama, dengan para perencana proyek REDD, yang akan memasukan proyek itu di Waroepen.
Tapi, hak rakyat Papua terhadap tanah, yang dimandatkan oleh UU Otsus Papua, dilanggar oleh pemerintah (daerah dan pusat), serta oleh pemegang izin. Pemerintah ambigu, tidak konsisten, dan mengutamakan duit. Karena itu, Pak Pietsaw dari Teluk Wondama, Papua Barat, menempuh jalan lain. Melalui jalan pemetaan, bersama JASOIL, sebuah organisasi nirlaba lokal, mereka memetakan tanah-tanah adat di Papua Barat. Tujuannya, sebagai penguat basis argumentasi melawan hegemoni pemerintah dan para pemegang izin. Dari izin pembalakan, pekebunan, hingga pertambangan yang tumpang-tindih satu sama lain. Kini, proyek REDD pun mungkin akan masuk di Papua Barat. Kalau bukan di Teluk Wondama, berangkali akan masuk di Kepulauan Raja Ampat.
Kini, giliran Sulawesi Tengah menyampaikan pengalamannya. Saya mendahului Ibu Yulin, sebab, fasilitator ingin mengetahui sejauh mana hasil pemantauan Pokja Pantau REDD di Sulawesi Tengah. Saya pun menjelaskan, bahwa, sejak Oktober 2010, pihak UNREDD baru melaksanakan satu kegiatan publik, di Palu. Kegiatan yang bertema “Konsultasi Regional dan Peluncuran Proyek UNREDD di Sulawesi Tengah”. Tapi, setelah itu, pihak UNREDD belum melakukan sosialisasi dan kunjungan ke lokasi yang dicanangkan untuk tapak REDD+.
Hingga kini, menurutku, pihak UNREDD di level propinsi lebih sibuk dengan pergulatan dirinya. Sibuk dengan pembenahan internal kelembagaan dan mekanismenya. Tapi, melupakan masyarakat adat dan lokal di sekitar lokasi yang direncanakan untuk tapak. Katakanlah, ada 5 kabupaten sekarang ini yang direncanakan. Meliputi, Toli-Toli, Donggala, Parigi Moutong, Poso, dan Tojo Una-Una.
Dari rangkuman di kelima wilayah itu, baik masyarakat maupun pemerintah daerahnya belum mengetahui soal proyek UNREDD. Proyek perkongsian dari 3 lembaga UN, yaitu UNDP, FAO, dan UNEP. Saya teringat, ketika di Desa Rerang sebulan silam, Sekretaris Camat Dampelas menyatakan kalau pihaknya belum mengetahui kalau wilayah Dampelas akan dijadikan tapak REDD+.
Lebih mengejutkan, karena saat itu, Sekcam bilang kalau pemerintah kecamatan tidak tahu kalau hutan di Dampelas telah ditetapkan sebagai kawasan pemangkuan hutan (KPH). Jika kembali ke pola FPIC, apa yang telah dilakukan oleh UNREDD selama ini, belum memenuhi aspek-aspek FPIC. Jadi, pada pertemuan nasional di Senggigi itu, saya bilang kalau secara prinsipil UNREDD belum melaksanakan FPIC di Sulawesi Tengah.
Kuncinya, FPIC dan Safeguard
Pak Moelyadi dari PETAK DANUM, sebuah organisasi masyarakat sipil di Kalimantan Tengah. Mereka telah setahun ini melakukan pemantauan dan advokasi terhadap masuknya proyek REDD di bekas lahan gambut 1 juta hektar. Malalui pendanaan dari pemerintah Australia, dengan proyek “Kalimantan Forest Carbon Project” (KFCP). Menurut Moelyadi, situasi di Kalimantan Tengah tidak berbeda jauh dengan di daerah lain di Indonesia, yang sudah masuk skema REDD/REDD+.
Misalnya, pihak KFCP tidak pernah melakukan sosialisasi ke masing-masing wilayah yang akan terdampak proyek. Padahal, para penghulu kampung dan marga sudah menunggu untuk diajak berbicara dan mencari solusi terkait masuknya proyek. Bahkan orang-orang di seluruh kampung yang terdekat dengan lokasi proyek, seperti di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau.
Namun, sampai saat ini, pihak KFCP belum sama sekali mengungkapkan rencana tentang penghormatan hak-hak masyarakat adat maupun lokal, di sekitar lokasi proyek. Masyarakat sudah berkali-kali mengajukan protes, termasuk protes terhadap penanaman pohon yang tidak cocok jenisnya untuk lokasi lahan gambut. Namun, sampai sejauh ini, protes tersebut tidak pernah direspon oleh pihak proyek, yang didukung oleh WETLAND INTERNATIONAL dan BOSMAWAS.
Menurut Marcus Colchester dan Patrick Anderson dari FOREST PEOPLE PROGRAM (FPP), setiap proyek pendanaan perubahan iklim punya kewajiban untuk mengedepankan prinsip penentuan keputusan tanpa paksaan atau PADIATAPA/FPIC. Karena, dengan prinsip itu, maka hak-hak dasar masyarakat setempat, seperti partisipasi, hak suara, dan hak veto di dalam suatu forum pertemuan, dapat dijalankan.
Selain itu, sudah saatnya, setiap proyek mulai menyiapkan suatu kerangka keselamatan (safeguard). Yang bertujuan untuk menghindari atau meminimalkan dampak dari proyek. Singkatnya, kerangka keselamatan untuk mengidentifikasi resiko sedini mungkin, ketika proyek dijalankan di lapangan.
Pada hari terakhir, dengan dipandu oleh Emil Kleden beserta Marcus Colchester, dibuatlah suatu kesimpulan ataupun garis-garis besar hasil pertemuan selama dua hari. Serta, menyusun satu rencana kerja bersama antara mitra PUSAKA – FPP. Disepakati bersama, bahwa, tahun 2012 nanti, akan ada suatu kegiatan bersama, mungkin melakukan kunjungan silang antara daerah, dan atau pertemuan di level nasional, ke pengambil kebijakan. Seperti ke Menteri Kehutanan dan Dewan Perubahan Iklim Nasional.
Setelah pertemuan nasional tentang FPIC tersebut, kamipun ikut serta di konferensi internasional tentang hutan. Yang juga diselenggarakan di lokasi wisata Senggigi, Lombok. Kegiatan tersebut dilakukan oleh pihak Kementerian Kehutanan bersama ITTO dan NORAD. Tapi, saya bersama Ibu Yulin dari Napu, hanya ikut selama 2 hari dalam konferensi tersebut. Karena, harus segera balik ke Palu, untuk persiapan rapat Pokja Pantau REDD Sulteng.
Tapi, sekali lagi, lambai nyiur di Pantai Sengigi menjadi kegelisahanku, bahwa suatu saat, masyarakat setempat akan kehilangan segala-galanya. Termasuk, jika daerah itu dikomersilkan untuk lokasi wisata, seperti Senggigi. Di mana, masyarakat Sasak telah kehilangan hampir sebahagian besar tanah-tanah mereka. Yang tersisa, hanya sebatang pohon di pantai.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih atas komentarnya