Rencana pemerintah melakukan reformasi di bidang agraria (pertanahan) patut disambut oleh semua pihak, terutama kelompok masyarakat kecil dan miskin yang selama ini kehilangan akses terhadap keadilan agraria.Pembagian tanah/lahan sekitar 8, 5 juta hektar (versi BPN) dan 9 juta hektar (versi KPA) untuk tahun 2007 hingga 2008, diharapkan mampu mengatasi persoalan di bidang pertanahan, terutama konflik agraria yang berkepanjangan di negeri ini, KOMPAS (30/06/07). Karena itu, ada dua pertanyaan yang patut diajukan ke permukaan terkait rencana reforma agraria itu, pertama, apa arah atau visi dari program tersebut. Kedua, bagaimana pelembagaan mekanisme reforma agraria. Pertanyaan pertama, terkait dengan isu strategis nasional, seperti pengetasan kemiskinan dan pengangguran. Sedangkan pertanyaan kedua, menyangkut tata-cara pelaksanaan pembagian tanah/lahan kepada masyarakat beserta sarana pendukungnya, antara lain produk hukumnya, lembaga pelaksananya, dan peran serta masyarakat di dalamnya.
Pemerintah perlu arif dan bijaksana melihat konteks permasalahan di lapangan, sebelum memulai proses reforma agraria. Salah satunya, dengan cara melakukan riset dan pemetaan masalah agraria di seluruh Indonesia. Sebab, kompleksitas masalah agraria di Indonesia sangat beragam, mulai dari dominasi penguasaan tanah/lahan oleh sekelompok orang, hingga konflik wilayah kelola. Pihak-pihak yang terlibat dalam perkara tersebut juga sangat beragam, mulai dari Perusahaan Besar, Instansi Pemerintah, hingga masyarakat lokal. Akar masalahnya juga majemuk, ada karena soal HGU, hingga penggandaan Sertifikat. Karena itu, riset dan pemetaan masalah agraria mutlak diperlukan mendahului pembagian tanah/lahan itu sendiri. Hasil riset dan pemetaan akan menjelaskan peta masalah dan juga potensi di setiap wilayah, mengingat bahwa setiap wilayah memiliki karakteristik persoalan agraria yang berbeda pula.
Misalnya, permasalahan agraria di Pulau Jawa banyak banyak didominasi oleh ketidak adilan agraria kepada masyarakat setempat, sehingga mengakibatkan terjadinya konflik penguasaan tanah/lahan antara berbagai pihak. Terutama, antara masyarakat setempat dengan pihak Perkebunan Besar milik BUMN dan Swasta. Sumber masalahnya adalah, penguasaan yang dominan atas tanah/lahan oleh pihak Perkebunan Tebu, dan Perkebunan Teh milik swasta. Atau konflik antara masyarakat dengan INHUTANI (BUMN), yang menguasai 70% hutan di Jawa.
Menurut Sekjen KPA, Usep Setiawan, saat ini ada sekitar 9,9 juta orang petani yang tidak punya tanah/lahan sendiri, (KOMPAS, 5/07/2007). Mereka ini dikategorikan sebagai kelompok Petani-Penggarap, yang bekerja pada tanah/lahan orang lain, dengan sistem sewa-pakai, atau sistem bagi hasil. Kelompok Petani-Penggarap tersebut menjadi kelompok sosial di wilayah pedesaan yang paling rentan dengan resiko ekonomi pasar yang sangat liberal, seperti ketergantungan pada pemilik lahan, dan selalu menjadi korban dari siklus ijon dan rentenir yang berkeliaran saat musim panen tiba. Karena itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak kepada pemerintah agar dalam rencana aksi nasional reforma agraria, kelompok petani yang tidak punya tanah/lahan itu yang menjadi prioritas utama sebagai kelompok sasaran.
Peluang Redistribusi Tanah/Lahan di Sulteng,
Sulawesi Tengah merupakan salah satu wilayah propinsi di Indonesia yang rentan dengan persoalan agraria. Riset yang dilakukan oleh Yayasan Merah Putih (YMP) Palu bersama dengan WALHI Sulteng di wilayah bahagian timur propinsi ini (Poso, Touna, Banggai, Bangkep), pada tahun 2006, menunjukkan bahwa persoalan agraria yang utama di bahagian timur Sulawesi Tengah adalah monopoli kepemilikan tanah/lahan oleh investasi perkebunan besar, pertambangan Migas, IUPHHK, dan usaha tambak. Monopoli kepemilikan tanah/lahan tersebut berdampak kepada ketidak-adilan distribusi tanah/lahan kepada masyarakat setempat, sehingga berimplikasi pada munculnya konflik tanah/lahan yang endemik. Misalnya kasus Seseba di Batui dan Bahotokong di Bunta, di mana masyarakat setempat yang umumnya petani berhadap-hadapan dengan pemegang izin HGU Perkebunan, dengan posisi pemerintah daerah yang memihak pada kepentingan pemilik modal, didukung pula oleh aparatus kemanan.
Sulawesi Tengah merupakan salah satu wilayah propinsi di Indonesia yang rentan dengan persoalan agraria. Riset yang dilakukan oleh Yayasan Merah Putih (YMP) Palu bersama dengan WALHI Sulteng di wilayah bahagian timur propinsi ini (Poso, Touna, Banggai, Bangkep), pada tahun 2006, menunjukkan bahwa persoalan agraria yang utama di bahagian timur Sulawesi Tengah adalah monopoli kepemilikan tanah/lahan oleh investasi perkebunan besar, pertambangan Migas, IUPHHK, dan usaha tambak. Monopoli kepemilikan tanah/lahan tersebut berdampak kepada ketidak-adilan distribusi tanah/lahan kepada masyarakat setempat, sehingga berimplikasi pada munculnya konflik tanah/lahan yang endemik. Misalnya kasus Seseba di Batui dan Bahotokong di Bunta, di mana masyarakat setempat yang umumnya petani berhadap-hadapan dengan pemegang izin HGU Perkebunan, dengan posisi pemerintah daerah yang memihak pada kepentingan pemilik modal, didukung pula oleh aparatus kemanan.
Menurut Kordinator Dewan Region JATAM Sulawesi, Ir.Aristan, konsep reforma agraria yang paling mendasar adalah redistribusi tanah/lahan kepada masyarakat yang tidak punya tanah/lahan sama sekali. Tanah/lahan yang akan diredistribusikan bersumber dari tanah/lahan bekas HGU dan bekas konsesi yang telah berstatus tanah hak milik negara yang saat ini banyak terdapat di Sulteng. Redsitribusi tanah/lahan yang adil menjadi pintu masuk untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran, kata Aristan. Sekitar 65% tanah/lahan di wilayah bahagian timur Sulteng saat ini, dalam penguasaan monopoli para investor. Angka tersebut bisa terus bertambah, jika melihat kecenderungan derasnya arus-masuk investasi di berbagai sektor ke wilayah-wilayah tersebut. Seperti kecenderungan investasi Mineral-Batubara di tiga wilayah sepanjang semester pertama 2007, yaitu di Tojo Una-Una (Emas, Biji Besi, Nikel), Banggai (Nikel), dan Bangggai Kepulauan (Nikel, Batubara).
Bahkan jika kita periksa dengan teliti peta-jalan investasi (road map to investment) di Kabupaten Banggai misalnya, sepanjang garis bentang utara akan dipadati oleh aktivitas pertambangan Nikel (Nuhon, Bunta, dan Pagimana) dan garis bentang selatan akan disibukkan oleh aktivitas pertambangan Migas (Kintom, Batui, Toili, Toili Barat). Sedangkan di Tojo Una-Una, sepanjang garis utara yang berhadapan langsung dengan Teluk Tomini, investasi pertambangan Biji Besi dan Nikel akan menjadi pemandangan keseharian bagi masyarakat di sana (Tojo Barat, Tojo, Ulu Bongka), sedangkan wilayah selatan, terutama di pedalaman akan disibukkan pula oleh rencana tambang Emas (Ampana Tete). Ketidak cermatan kedua wilayah kabupaten tersebut dalam menyusun peta-jalan investasinya dapat dilihat dalam Laporan Executive Summary RTRWK masing-masing wilayah yang sementara dibahas. Pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten pada kedua wilayah tersebut, tidak kelihatan semangat keadilan pemanfaatan ruang, sebab 70% wilayah mereka telah dipetakan untuk kepentingan investasi. Sisanya merupakan areal pemukiman masyarakat yang telah ada, dan lahan-lahan pertanian masyarakat sebelumnya.
Pemerintah daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) di Sulawesi Tengah sudah saatnya merubah paradigma pembangunan agraria, dengan pertama-tama secara sukarela harus mencabut dan membatalkan pemberlakukan Surat Edaran Gubernur tahun 1992 (masa Gubernur Azis Lamadjido) yang mencabut status tanah/lahan eks Swapraja dan tanah kepmilikan komunal. Sebab SE tersebut menjadi dokumen sakti bagi setiap Pemkab/Pemkot di wilayah ini untuk hanya memberlakukan dua hak kepemilikan tanah/lahan. Yaitu, tanah/lahan hak milik negara, dan tanah/lahan hak milik sertifikat. Sehingga, begitu banyak tanah/lahan masyarakat yang digunakan untuk aktivitas pertanian dan perkebunan domestik sejak saat itu menjadi rentan untuk hilang dan dialihkan kepmilikannya ke pihak lain. Sebab, pemrintah daerah tidak lagi mengakui tanah/lahan eks Swwapraja dan tanah/lahan milik ulayat, yang dikelola secara komunal.
Pencabutan SE Gubernur 1992, harus dilanjutkan dengan penyamaan konsepsi penataan ruang wilayah oleh masing-masing Kabupaten/Kota, dengan merujuk pada UU 26/2007 tentang Penataan Ruang Nasional. RTRWK itu merupakan buku induk pemanfaatan dan pengelolaan tanah/lahan di setiap wilayah, karena itu penyusunan RTRWK di setiap kabupaten/kota harus menjadi perhatian besar publik, sebab jika tidak, harapan untuk terjadinya keadilan reditribusi tanah/lahan di Sulawesi Tengah hanya akan menjadi "tong kosong nyaring bunyinya" dalam Rencana Aksi Nasional Reformasi Agraria.
Azmi Sirajuddin AR
(Kordinator Advokasi dan Pemberdayaan)
Yayasan Merah Putih (YMP) Palu
Jl.Tadulako 2 No.11 Palu, Sulteng
Telp/Fax: 0451-487137
e-mail: ymp_palu@yahoo.com/ ymp@ymp.or.id/ azmiss@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih atas komentarnya