Kemiskinan tetap menjadi tantangan terbesar umat manusia sejak kapitalisme masuk hingga ke bilik-bilik privat masyarakat. Tidak terkecuali di Indonesia, di mana angka kemiskinan kita pada tahun 2010 mencapai kisaran 32 – 33 juta penduduk (BAPPENAS, 2010). Pemerintah berharap angka kemiskinan tersebut dapat diturunkan satu persen setiap tahunnya. Diperkirakan angka kemiskinan dapat menurun hingga ke angka 31 juta dari penduduk Indonesia pada tahun 2011 (MENKOKESRA, 2010). Penurunan itu diharapkan dapat mencapai 13 persen atau 12 persen. Sehingga diperkirakan angka kemiskinan Indonesia pada tahun 2011 berada di level 31 juta jiwa penduduk.
Tapi harapan untuk mengatasi kemiskinan itu termasuk menurukan angka kemiskinan setiap tahunnya perlu dilakukan dengan upaya yang luar biasa. Apalagi kecenderungan pertumbuhan ekonomi mengalami stagnan dalam lima tahun terakhir. Yang dipengaruhi oleh faktor-faktor global, seperti meningkatnya harga pangan dan energi. Serta ketidakseimbangan neraca perdagangan antara negara industri dan non industri. Adapun faktor- faktor internal di dalam negeri sendiri, semakin berkurangnya lahan pertanian akibat konversi lahan untuk kepentingan non pertanian. Ataupun karena semakin berkembangnya praktek korupsi di semua level. Serta penegakan hukum yang semakin buruk.
Badan dunia untuk pangan dan pertanian (FAO) pada awal tahun 2011 merilis bahwa kenaikan indeks harga pangan bulan Januari 2011 sudah menembus level 200. Terus mengalami peningkatan hingga 236,8 pada bulan Februari. Melebihi indeks tertinggi harga pangan sebelumnya pada Juni 2008 yang mencapai 224,1. Dengan rata-rata harga beras dan gandum dunia mencapai harga US$450 per ton. Ini akan berdampak langsung kepada masyarakat dengan pendapatan terendah di bawah US$2 per hari. Sebanyak 64 penduduk di kawasan Asia termasuk di Indonesia, akan jatuh miskin karena terdampak oleh kenaikan harga pangan (ADB, 2011). Apalagi, sekitar 60 persen pedapatan penduduk miskin dibelanjakan untuk makan.
Sementara itu, kenaikan harga energi dunia terutama minyak bumi hingga akhir tahun 2010 sudah sangat mengkhawatirkan. Krisis sosial dan politik di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang terus berlangsung, dan krisis reaktor nuklir Jepang memicu spekulasi harga di pasar dunia. Harga minyak mentah awal Januari 2011 sudah mencapai level tertinggi dibandingkan tahun 2010. Minyak mentah jenis Brent dihargai sepekulan dengan kisaran US$120 per barel. Sedangkan jenis WTI dipatok dengan harga US$110 per barel (JURNAL NASIONAL, 2011). Aapalgi, hingga kini, pengembangan energi terbarukan atau energi alternatif pengganti bahan bakar fosil belum pasti.
Praktek korupsi yang merajalela dari level nasional hingga ke daerah, turut memperburuk kondisi perbaikan ekonomi kita. Tidak hanya anggaran pembangunan infrastruktur yang dikorupsi. Tapi juga anggaran sektor publik, seperti anggaran pendidikan dan kesehatan yang diperuntukan untuk perbaikan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan masyarakat. Sebanyak 54 kasus dalam penyelidikan, 62 perkara yang sudah dalam penyidikan, 55 perkara dalam proses penuntutan, serta sada 38 perkara yang sudah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap (KPK, 2011). Tapi, hukum juga sangat lemah dalam implementasinya. Kasus Gayus Tambunan, si mafia pajak yang beberapa kali keluar tahanan untuk pelesiran ke Bali dan luar negeri, sangat menyentil nurani keadilan masyarakat. Hukum menjadi barang mainan di negeri ini, dengan melibatkan seluruh elemen penegak hukum. Mulai dari Polisi, Jaksa, Advokat, hingga korps Hakim di pengadilan (SATGAS MAFIA HUKUM, 2011).
Kembangkan Bisnis Sosial Perbankan
Salah satu pihak yang diharapkan berkontribusi dalam pemberantasan kemiskinan ialah lembaga perbankan. Dengan mengembangkan konsep tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) yang lebih dinamis, menyesuaikan kondisi masyarakat di sekitarnya. Praktek semacam ini telah berlangsung sejak tahun 1970-an. Secara teori, CSR diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktek yang berhubungan dengan stakeholders, nilai-niai, pemenuhan ketentuan umum, penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen badan usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan (Tanaya, 2004).
Dengan situasi dan kondisi perekonomian makro yang semakin liberal, tapi rapuh di level mikro, saatnya perbankan kembali melakukan otokritik atas perannya selama ini. Sembari melakukan reformasi tanggungjawab sosial yang selama ini tersendat di meja para direksi dan komisaris. Misalnya, melakukan evaluasi tahunan internal untuk mengetahui mengapa kredit-kredit UKM dan KUR penyerapannya sangat rendah. Atau, mengapa masyarakat lebih percaya pada jasa rentenir dan tengkulak dalam memperoleh modal usaha.
Terobosan terbaru yang mungkin patut diterapkan saat ini oleh perbankan ialah dengan mengembangkan apa yang disebut “bisnis sosial”. Bisnis sosial, sebenarnya dapat dikatakan sebagai pengembangan dari model klasik CSR yang dipandang gagal di mata masyarakat. Grameen Bank di Bangladesh, dengan motornya Muhammad Yunus, sebagai pionir konsep ini sejak beberapa tahun silam. Konsep ini memfokuskan pada semangat sosialisme terhadap modal-modal yang ada di perbankan.
Dalam pakteknya yang lebih faktual, bisnis sosial ini dikembangkan dengan cara membuat unit-unit usaha di level masyarakat. Unit-unit usaha tersebut berbeda dari skema kredit perbankan yang lazim sebelumnya. Pengembangan unit usaha sosial itu dapat ditempuh dengan beberapa cara. Yang pertama, pihak perbankan menyisihkan sebahagian dari laba bersihnya untuk hal yang berkaitan langsung dengan masyarakat miskin. Seperti, untuk dana kesehatan, pendidikan dan bantuan modal usaha bagi petani dan nelayan gurem. Yang kedua, membangun kemitraan langsung dengan pemerintah desa dan kelurahan yang warganya hidup di bawah garis kemiskinan.
Untuk pembiayaan pendidikan bagi masyarakat miskin, perbankan dapat menitipkan pengelolaan dana tersebut ke Komite Sekolah. Untuk selanjutnya, Komite Sekolah yang akan melakukan pendataan bagi siswa dan siswi kurang mampu. Selanjutnya, pihak perbankan yang memberikan dana, memperoh nilai tambah dengan menjadikan siswa dan siswi yang bersangkutan plus keluarganya sebagai calon nasabah. Begitupun dengan dana kesehatan masyarakat miskin. Pihak perbankan menyertakan donasinya untuk biaya kesehatan gratis masyarakat miskin. Dengan menitipkan dana tersebut di Puskesmas maupun Rumah Sakit terdekat. Nilai tambahnya, perbankan dapat merekrut calon nasabah baru dari kalangan pasien, keluarga pasien, dokter, perawat serta paramadis dan staf lainnya.
Kemitraan langsung dengan desa dan kelurahan yang warganya mayoritas miskin, dilakukan dengan mendorong pembentukan koperasi atau lembaga ekonomi desa. Yang akan mengelola dana perbankan yang didonasikan untuk membantu pemulihan aktifitas produksi petani maupun nelayan gurem. Kepala Desa maupun Kepala Kelurahan beserta aparatusnya, dapat dijadikan pula calon nasabah baru perbankan yang bersangkutan. Beserta keluarga para petani dan nelayan yang memperoleh donasi pemulihan usahanya.
Jika dilihat, bentuk baru konsep CSR yang bernama “bisnis sosial” ini lebih dinamis dan lebih progresif terhadap perkembangan zaman. Perbedaan antara konsep CSR klasik dengan model CSR yang mutakhir terletak pada dua hal. Pertama, konsep CSR klasik lahir karena adanya tekanan politik negara. Sebagai kemutlakan yang harus dipikul dan dijalankan oleh sebuah perusahaan di suatu lingkungan sosial. Sedangkan, CSR model terbaru ini lahir karena adanya “kesadaran sosial” dari perusahaan untuk turut berkontribusi dalam pembangunan di lingkungan sekitarnya. Kedua, CSR klasik tidak memiliki visi untuk pengentasan kemiskinan dan penguatan masyarakat terpinggirkan. Sedangkan, CSR model terbaru ini ditopang oleh satu visi untuk berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan dan penguatan masyarakat terpinggirkan.
Agar dana-dana yang telah didonasikan tersebut benar-benar telah sampai kepada tujuan dan digunakan sebagaimana mestinya, pihak perbankan dapat membuat satu perjanjian umum dengan pengelola dana. Sehingga, sewaktu-waktu pihak perbankan dapat meminta transparansi dan akuntabilitas dari pengelolaan donasi-donasi sosial tersebut. Bahkan, melakukan audit publik terhadap pengelolaan dana. Bila terjadi penyelewengan, maka pihak perbankan maupun masyarakat penerima yang dirugikan, dapat mengajukan gugatan hukum kepada pengelola dana.
Karenanya, saat ini adalah momentum yang tepat bagi kalangan perbankan di Indonesia untuk memulai mengembangkan konsep CSR model baru tersebut. Selain sebagai sebuah tanggungjawab sosial perusahaan, juga sebagai kesadaran sosial kelembagaan untuk berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan dan penguatan masyarakat terpinggirkan.
http://www.kompasiana.com/azmibone
http://www.kompasiana.com/azmibone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih atas komentarnya