FOTO:Doc.SILO |
Instansi pemerintah di sektor kehutanan
sering kali mengumbar kata terkait proyek Hutan Desa maupun Hutan
Kemasyarakatan di Sulawesi Tengah. Misalnya, Balai Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (BPDAS) Palu – Poso, menargetkan bahwa alokasi areal kerja hutan desa
maupun hutan kemasyarakatan untuk tahun 2012, adalah 8.239 hektar.
Sejalan dengan itu, Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah juga berulang kali
menyebutkan adanya alokasi lahan untuk pengembangan hutan desa maupun hutan
kemasyarakatan.
Namun, janji dan pernyataan tersebut
kerap kali tidak sejalan dengan fakta sosial yang ada. Beberapa kali kelompok
masyarakat dan organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Tengah mengajukan
permohonan hutan desa maupun hutan kemasyarakatan. Tapi, apa lacur, sejauh ini
jauh panggang daripada api. Merujuk data dan fakta yang ada, hingga saat ini,
baru ada satu proyek hutan desa yang telah diverifkasi oleh Menteri Kehutanan.
Yaitu, di areal kerja hutan desa di Desa
Namo, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi (beritapalu.com, 2011). Dengan luas 490
hektar, yang telah ditetapkan pada tahun 2011 oleh Menteri Kehutanan. Adapun
hutan kemasyarakatan, baru ada dua lokasi, yaitu 500 hektar di Desa Nambo
Kecamatan Kintom Kabupaten Banggai, dan di Kecamatan Pipikoro Kabupaten Sigi
seluas 2.184 hektar.
Perubahan Permenhut No.49 Tahun 2008
tentang Hutan Desa ke Permenhut No.14 Tahun 2010, yang selanjutnya dirubah lagi
ke Permenhut No.53 Tahun 2011, menunjukkan kalau platform kebijakan juga
berubah-ubah. Bahkan, cenderung tidak konsisten antara Permenhut yang satu
dengan Permenhut lainnya tentang Hutan Desa. Sekaligus, mencerminkan skenario
kebijakan yang berubah-ubah dan disesuikan dengan kepentingan kelompok dan
pesan-pesan sponsor kelompok tertentu yang memliki kuasa yang lebih atas hutan
dan lahan di Indonesia.
Tangga Prosedural Berliku
Berdasarkan pengalaman Yayasan Merah
Putih (YMP) bersama masyarakat di Kabupaten Banggai, mendorong skema hutan desa
maupun hutan kemasyarakatan bukanlah perkara yang mudah. Sejak tahun 2010, YMP
bersama masyarakat di Desa Uwedaka Kecamatan Lobu, serta bersama masyarakat di
Desa Toiba Kecamatan Bualemo, mendorong skema hutan desa.
Dimulai dari proses survei, riset dan
pemetaan hingga lokakarya desa tentang hasil-hasil riset dan pemetaan potensi
hutan, dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat setempat. Bahkan, proses
penyusunan proposal areal kerja hutan desa juga disampaikan bersama dengan
masyarakat ke pemerintah kabupaten.
Namun, hingga setelah pergantian Bupati,
saat ini, belum ada respon dan tanggapan dari Bupati Banggai. Beberapa
kali perwakilan masyarakat menemui dan mendesak Dinas Kehutanan Banggai untuk
menanyakan usulan areal kerja hutan desa di Desa Toiba. Namun, juga belum ada
jawaban yang meyakinkan. Kecenderungan yang ada, justru dokumen-dokumen
proposal tersebut hanya diarsipakn belakan tanpa pernah digubris.
Harapan masyarakat dan pemerintah Desa
Toiba agar usulan mereka dijawab Bupati seakan sirna. Karena, hingga kini, Bupati
Banggai sama sekali tidak pernah mengagendakan pembahasan usulan hutan desa
tersebut dengan pihak dinas kehutanan maupun DPRD. Kesan yang muncul di tengah
masyarakat Toiba saat ini, pemerintah sengaja membiarkan usulan itu mengendap.
Sebab, lebih memetingkan pengembangan perkebunan sawit milil PT Wira Mas Permai
seluas 17.500 hektar di Kecamatan Bualemo.
Di mana, areal kerja hutan desa yang
diusulkan kemungkinan juga akan dianeksasi oleh perusahaan Wira Mas Permai.
Padahal, masyarakat setempat berharap agar Bupati dapat merekomendasikan usulan
itu ke Gubernur. Mungkin, dengan kehadiran skema hutan desa di kampung itu,
akan dapat menjawab tantangan perbaikan taraf hidup masyarakat. Dibandingkan
dengan menjadi buruh harian di perkebunan sawit. Atau menyerahkan sebahagian
lahan garapan mereka menjadi lahan plasma perusahaan. Dengan resiko jerat
hutang dan rente yang berkepanjangan.
Di Kabupaten Toli-Toli, situasi yang
berbeda tampaknya. Tapi dengan semangat yang hampir serupa, yaitu proyek
semata. Kelompok Kerja Pemantauan REDD Sulawesi Tengah menemukan kejanggalan.
Yang mana, Kepala Desa Malulu Kecamatan Dondo, dipaksa oleh Dinas Kehutanan
Toli-Toli menandatangani proposal areal kerja hutan desa. Namun, Kepala Desa
menolak menandatanganinya.
Penolakan Kades sangat beralasan. Sebab,
tanpa sepengetahuan dirinya serta masyarakat setempat, tiba-tiba usulan hutan
desa justru sudah dibuat dari atas. Padahal, mereka sebagai masyarakat Desa
Malulu belum pernah membicarakan rencana itu. Bahkan. yang lebih mengherankan,
kelompok kerja untuk pengelola hutan desa sudah terbentuk, lengkap dengan
komposisi pengurus dan anggotanya. Ketika diteliti oleh Kades, sebahagian dari
nama-nama dalam kelompok adalah fiktif belaka. Tidak dikenal di Desa Malulu.
Sama sekali tidak ada prinsip
partisipasi, akuntabilitas dan keterbukaan dari Dinas Kehutanan setempat. Gema
untuk mendorong prinsip padiatapa atau FPIC dalam setiap kebijakan kehutanan di
Sulawesi Tengah, kini tercemari. Kenapa tiba-tiba Dinas Kehutanan Toli-Toli
menempuh jalan pintas semacam itu? Jangan-jangan ini untuk mengejar proyek
semata, tanpa menghormati hak masyarakat setempat. Tanpa ada pelibatan dan
peran serta masyarakat dalam proses survei, riset dan pemetaan.
Jangan-jangan, konsep padiatapa hanya
jargon belaka. Belum menyentuh aspek fundamental dari apa yang kita maksudkan
dengan padiatapa. Pemerintah senang sekali membuat perencanaan dari atas, dan
melupakan proses dari bawah. Jika ini benar-benar disengaja, maka kasus
penolakan masyarakat terhadap skema-skema kehutanan di Desa Talaga Kabupaten
Donggala, akan terlulang di Toli-Toli. Selain karena skema itu dirancang tanpa
ada informasi yang baik diteruskan ke masyarakat, juga proses persetujuannya
memang dipaksakan.
Jika demikian, skema hutan desa yang
dipandang baik untuk masyarakat, dan seringkali dikampanyekan oleh pemerintah,
akan menjadi tidak baik. Sebab, selalu didorong dengan motivasi proyek dan
pencapaian indikator program pada instansi kehutanan vertikal maupun SKPD
kehutanan di level provinsi dan kabupaten/kota.
Mungkin, pengalaman organisasi
masyarakat sipil WARSI di Jambi, cukup mencengangkan. Menurut mereka, dari
penglaman mereka selama ini di Jambi, untuk memperoleh SK Penetapan Hutan Desa
maupun Hutan Kemasyarakatan dari Menteri Kehutanan, biasanya harus melewati
berbagai pintu dan tangga birokrasi dari level kabupaten hingga pusat. “Mungkin
kita harus melewati 40 pintu dan tangga birokrasi sebelum SK Menteri
diperoleh”, ujar Dicky dari WARSI, di suatu kesempatan lokakarya di Palu belum
lama ini.
BERITA PALU
BERITA PALU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih atas komentarnya