![]() |
kebun obat Pakuli |
Seperti
diketahui, penunjukan kawasan Nasional Taman Nasional Lore Lindu sebagai
kawasan konservasi dilakukan pada tahun 1993 oleh
Kementrian Kehutanan. Secara hukum,
Taman Nasional Lore Lindu dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan
melalui Keputusan No. 464/Kpts-Il/1999 tanggal 23 Juni 1999 dengan luas
kawasan 217.991,18 ha. Sedangkan untuk pengelolaanya, berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007. Sejak Tanggal I Februari
2007, diserahkan kepada Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu. Hingga kini, luasan kawasan konservasi itu
justru mempersempit akses wilayah kelola masyarakat sekitarnya.
Permintaan
itu disampaikan tidak hanya oleh masyarakat, tetapi juga aparat pemerintah
desa. Di kedua desa tersebut, masyarakatnya mengakui masih memiliki nilai dan
norma adat dalam pengelolaan hutan dan lahan. Tapi, mereka juga mengakui,
bahwa, sudah tidak ada lagi wilayah kelola adat. Sebab, seluruh wilayah kelola
rakyat telah dimasukkan ke dalam zona perlindungan (zona inti). Jadi, suatu
ambigu, masyarakat mengakui masih punya nilai dan norma adatnya, tapi kawasan
kelolanya sudah hilang.
Sedangkan,
pertumbuhan penduduk semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hingga hari ini,
total penduduk di kedua desa mencapai 2000 jiwa, setara dengan 720 KK. Tentunya,
pertambahan penduduk akan disertai dengan kebutuhan akan lahan tambahan. Untuk lahan
pertanian masyarakat maupun pemukiman, serta pembagunan infrastruktur. Saat
ini, ruang kelola masyarakat untuk mata pencaharian terbatas pada kebun dan
persawahan. Umumnya, di kebun itu mereka menanam durian dan kemiri. Bagi
sebahagian orang di Pakuli, kebun-kebun ada yang ditanami tumbuhan obat-obatan.
Sementara itu, lahan kelola rakyat
semakin menyempit, akibat pertumbuhan penduduk. Kebun-kebun yang ada tidak
mencukupi satu hektar per rumahtangga. Begitupun dengan persawahan, walaupun
suplai air tetap terjaga dari irigasi Gumbasa, tapi luasannya tidak siginifikan
lagi menopang produksi pangan setempat. Akibatnya, ada sebahagian dari mereka
terpaksa menjadi buruh tani. Ada pula yang terpaksa bermigrasi ke luar untuk
mencari penghidupan baru. Misalnya, ke Palu dan ke ibukota Kabupaten Sigi di
Biromaru. Pilihan migrasi ini tentunya mengandung risiko bagi mereka. Dengan keterampilan
yang minim, akan menjadikan mereka sebagai buruh dengan upah rendah di
perkotaan.
Sementara itu, kawasan Taman Nasional
Lore Lindu yang luas terbentang di
belakang rumah mereka tidak mungkin untuk dikelola. Karena belum ada kejelasan
zonasi secara detail di lapangan. Antara zona inti, zona penyangga dan zona
pemanfaatan. Walaupun, dalam dua tahun terakhir ini, ada kebijakan dari Balai
Besar TNLL agar zonasi disederhanakan saja bentuknya. Cukup zona perlindungan
dengan luasan 60% dari total areal, serta 40% diperuntukkan bagi zona
pemanfaatan. Tapi, rencana itu baru sebatas pernyataan lisan. Belum ada
realisasi yang nyata.
Masyarakat memandang bahwa, seharusnya
ada peninjauan ulang atau bahkan revisi atas luasan Taman Nasional. Mengingat,
semakin terbatasnya akses wilayah kelola, termasuk untuk memanfaatkan sumber
daya hutan. Semacam damar, rotan, lebah madu, sari aren dan tanaman obat.
“Slogan hutan lestari masyarakat sejahtera harus dapat dibuktikan oleh
pemerintah tidak hanya sebatas slogan,” ujar John Siwar, salah satu masyarakat
di Desa Pakuli. Di tempat terpisah, Pak Karim, sesepuh Desa Simoro mendesak
perlunya satu pertemuan akbar, menghadirkan seluruh kampung yang berada di
dalam dan sekitar Taman Nasional. Saat ini, terdapat 61 desa atau kampung di
Kabupaten Poso dan Sigi yang wilayahnya berbatasan atau berada dalam kawasan
Taman Nasional. “Penting ada pertemuan seluruh desa di Taman Nasional untuk
meminta revisi luas kawasan,” ujar Pak Karim, yang juga mantan Kepala Desa
Simoro.
Keresahan
masyarakat tersebut kelihatannya sudah diketahui oleh Balai Besar TNLL. Untuk
membujuk masyarakat di kedua desa, pihak Balai dalam dua bulan terakhir
meluncurkan proyek rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Jenis bibit tanaman yang
dibagikan seperti kemiri, durian, aren, damar, palapi dan malapoga.
Masing-masing 50 pohon setiap orangnya, dengan janji bahwa kelak, tanaman itu
akan menjadi milik si empunya lahan. Tapi, upaya itu tetap meresahkan
masyarakat. Sebab, mereka khawatir, janji pemerintah tidak akan ditepati soal
kepemilikan atas tanaman yang telah mereka tanam.
Walaupun
tampaknya Desa Pakuli maupun Simoro digadang-gadang sebagai lokasi tapak
impelementasi proyek REDD+ di Kabupaten
Sigi. Namun, hal itu tidak akan mempengaruhi niat masyarakat untuk tetap
memintakan revisi atas luasan kawasan Taman Nasional. Sebab, bagi masyarakat di
kedua desa tersebut, proyek REDD+ belum pasti menjamin perbaikan nasib mereka.*[Azmi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih atas komentarnya